Sumber foto: http://blog.lib.umn.edu/drube004/architecture/
”Agra dapat menjadi taman firdaus yang sangat indah bagi para wisatawan, tetapi dapat pula menjadi neraka atau mimpi yang amat buruk. Kota ini sekaligus menyimpan keindahan dan kekumuhan; kebahagiaan dan penderitaan....”
Itulah kalimat pertama ketika wartawan Kompas, Trias Kuncahyono, mengunjungi Agra dan menuliskan laporannya di Kompas, 26 Juni 2000. Agra adalah ibu kota dari Uttar Pradesh, sekitar 200 kilometer dari New Delhi.
Berbicara soal Agra, orang akan berbicara soal Taj Mahal, salah satu dari tujuh keajaiban dunia, yang masih menjadi daerah tujuan wisata terkemuka di India.
Taj Mahal masih berdiri dengan tegak di kota Agra. Puncak peradaban umat manusia yang berupa pemakaman itu dibangun dalam paduan arsitektur Persia, Turki, Islam, dan India. Taj Mahal yang sering disebut sebagai monumen perlambang keabadian cinta dibangun tahun 1632-1648 atas perintah Kaisar Mughal Shah Jahan untuk mengenang istrinya, Mumtaz Mahal.
Makam dibangun untuk mengenang istri yang dicintainya yang meninggal saat melahirkan anak mereka yang ke-14. Lebih dari 20.000 pekerja dan 1.000 gajah dikerahkan untuk membangun monumen cinta tersebut. Kompleks yang masih menunjukkan kemegahan dan kemewahan itu terletak di tepi Sungai Yamuna. Marmer terbaik didatangkan dari berbagai wilayah India, Asia Tengah, dan China.
Kedatangan kami ke Agra sebenarnya lebih karena faktor keberuntungan. Setelah menghadiri Kongres Asosiasi Surat Kabar Dunia di Hyderabad, 1-4 Desember, kami berangkat ke New Delhi untuk bertemu dengan para petinggi The Times of India, surat kabar terbesar di dunia dengan tiras 4 juta, dan bertemu dengan Duta Besar RI di India AM Ghalib.
Pada saat kami tiba di New Delhi, Ghalib justru sedang berada di Jakarta dan baru balik ke New Delhi pada 5 Desember. Karena itulah, sambil menunggu waktu, Ghalib meminta staf lokal KBRI, Muhammad Iksan, untuk menyertai kami ke Agra. Akhirnya, sepanjang hari Sabtu, 5 Desember, kami menuju Monumen Cinta.
Ketika pagi masih buta, hari Sabtu itu, kami meninggalkan hotel di New Delhi. Petugas hotel yang curiga terpaksa memeriksa paspor dan nomor kamar dan bertanya kepada kami mau ke mana? Akhirnya, urusan itu beres meskipun agak jengkel juga ketika terlalu dicurigai.
Perjalanan New Delhi-Agra memakan waktu lima jam dengan mobil pinjaman dari KBRI. Agra juga bisa ditempuh dengan bus umum atau kereta api dari New Delhi. Bisa juga dengan menyewa mobil dengan tarif 4.000 rupee.
Apa yang ditulis Trias sepuluh tahun lalu, soal Agra, ternyata belumlah banyak berubah. Agra tetaplah semrawut. Lalu lintas bukan hanya saling sodok, bahkan bisa melawan arah. Polisi seakan tak berdaya menghadapi itu semua.
Sepanjang perjalanan menuju Agra, sapi dan juga unta berkeliaran. Bahkan, ada sapi yang ikut ”berbelanja” di warung. Kemiskinan menunjukkan wajahnya yang nyata. Kekumuhan tetaplah menjadi wajah dominan menuju Monumen Cinta.
Perjalanan menuju Taj Mahal sangat kontras dibandingkan, katakanlah, dengan lokasi menuju Tembok Besar China, Colosseum di Roma. Atau jika mau dibandingkan dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah. Perjalanan menuju ketiga tempat itu lebih memanjakan mata wisatawan.
Pemandu wisata
Sepanjang perjalanan, Iksan dan Desmon Singh, pengemudi mobil kami, sudah membagi cerita soal kiat menghadapi pemandu wisata dan para penjaja suvenir. Banyak cerita wisatawan merasa tertipu saat berbelanja suvenir di Agra. Pesannya hanya satu: jangan direspons kalau tak mau menggunakan jasa atau membeli!
Benar juga cerita Iksan, master politik lulusan Universitas Islam Aligarh. Begitu turun dari mobil ke dekat pintu gerbang Taj Mahal, pemandu wisata menyerbu menawarkan jasa. Mereka menawarkan sejumlah keistimewaan, termasuk menawarkan pendekatan agama ketika mereka menduga kami berasal dari Malaysia. Kami lolos dari serbuan tawaran pemandu wisata meskipun Iksan harus terus bersilat lidah menolak para guide tersebut.
Matahari belum tepat di atas kepala ketika kami akhirnya menatap kemegahan dan keindahan Taj Mahal, sebuah monumen warisan dunia. Taj Mahal memang indah! Bahkan, Taj Mahal menawarkan keindahan yang berbeda-beda.
Menurut Arif B Sholihah, dosen arsitektur Universitas Islam Indonesia (Kompas, 9/10/2005) saat datang pagi hari, Taj Mahal memancarkan warna kuning dan makin siang akan makin putih. Marmer Taj Mahal kian bercahaya. Ketika datang malam hari, terlebih pada bulan purnama, bayang-bayang hitam Taj Mahal dari Sungai Yamuna akan tampak seolah ia adalah bangunan kembar Taj Mahal putih dan Taj Mahal hitam di permukaan Yamuna. Sebuah pemandangan yang amat romantis.
Taj Mahal yang sudah berumur lebih dari 300 tahun tetaplah membutuhkan perawatan. Sayang memang keretakan kecil pada celah-celah marmer di lantai tidak tertutup dengan sempurna sehingga mengurangi keindahan aslinya.
Tiga jam tidaklah cukup untuk menikmati kemegahan Taj Mahal. Terlebih jika pagi, siang, dan malam, menawarkan keindahan yang berbeda. Namun, waktu tak mungkin diperpanjang untuk berlama-lama di Taj Mahal karena kami harus segera kembali ke New Delhi.
Kami pun meninggalkan Taj Mahal dengan kenangan berbeda. Dan penjaja suvenir terus memburu kami menawarkan kaus, patung, dan kerajinan lainnya.
Dua kaus bergambar Taj Mahal pada awalnya ditawarkan 5.000 rupee. Kemudian, dengan dalih memberikan harga terbaik, meningkat menjadi 4 kaus, 6 kaus, dan terakhir 10 kaus dengan harga 5.000 rupee. Rekan kami terpancing dan akhirnya menawar bagaimana kalau 12 kaus. Terjadilah tawar-menawar amat keras. Sampai pada akhirnya, beberapa saat sebelum mobil bergerak, si penjual menyerah dan setuju 12 kaus dengan harga 5.000 rupee. Dan ketika uang 5.000 rupee berpindah tangan, dengan sigap pula si penjaja menyerahkan 10 kaus kepada pembeli, sedangkan 2 kaus lagi dimasukkan kembali ke dalam tasnya.
Mobil pun bergerak. Kami akhirnya harus merasa kalah karena ternyata hanya 10 kaus yang kami terima dari 12 yang disepakati. Sampai di hotel, kami pun membuka kaus dari plastik pembungkus dan terciumlah bau menyengat dari zat pewarna sehingga kami harus mencucinya. Ternyata, warna beberapa di antara kaus itu luntur.
Kami teringat pada cerita Iksan dan Desmon dalam perjalanan soal trik itu. Pengalaman itu kami ceritakan kepada Ghalib, dan Ghalib pun hanya tertawa. ”Itu bukan tipu khas India, tapi karena kita sendiri yang memang tidak siap,” ucap Ghalib.
Sumber: KOMPAS, 29 Desember 2009
No comments:
Post a Comment