Wednesday, December 30, 2009

Ekonomi India Berpotensi Terkuat di Dunia

Saya sangat tergugah dan merenung panjang setelah membaca harian KOMPAS mengenai ulasan negeri India dipandang dari sudut ekonomi dan segala hal yang mendasari kinerjanya. Sungguh sangat menarik!
Saya memandang artikel tersebut perlu di-sharing disini, mungkin sedikit banyak membuka wawasan dan pemikiran kita. Semua tulisan (4 seri) disadur dari harian KOMPAS, 29 Desember 2009:

Ekonomi India Berpotensi Terkuat di Dunia
Catatan Ekonomi India, negara kedua terbesar penduduknya di dunia, kini tampil sebagai raksasa baru ekonomi sejagat. Tahun 2009, ketika perekonomian negara-negara industri terjerembab, India justru menjadi negara kedua tertinggi pertumbuhan ekonominya setelah China.

Ekonomi India mampu tumbuh lebih dari 6 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia yang tumbuh 4,4 persen. Hal yang mengejutkan, dengan produk domestik bruto yang masih 1,3 triliun dollar AS (nomor 12 di dunia, bandingkan dengan Amerika Serikat sebesar 14,8 triliun dollar AS), India sudah berani mencanangkan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia tahun 2025.

Ambisi ini tentu bukan main-main, sebab dengan demikian 15 tahun mendatang India akan menggusur raksasa ekonomi dunia selama lebih dari 10 abad, Amerika Serikat. Ia juga akan meloncati China, negara yang mampu secara konsisten meraih pertumbuhan ekonomi di atas 10 persen. China bahkan sebentar lagi menggeser Jepang sebagai negara kedua terbesar skala ekonominya di dunia. India akan menggeser pula Jepang, Jerman, dan Inggris, yang demikian besar skala ekonominya. Ambisi India tentu sah-sah saja sepanjang dilakukan dengan penahapan yang sangat teratur dan kerja keras.

Apakah negara-negara raksasa ekonomi dunia terkejut dengan tekad India? Sampai hari ini tidak ada satu negara pun bereaksi atas tekad besar itu. Tidak ada yang memuji, tiada pula yang mencemooh. Tetapi, kira-kira dunia bisa membaca bahwa tidaklah terlampau gampang untuk memenuhi ambisi itu.

Dunia bisa becermin pada China yang meraih kinerja gilang-gemilang. Sejak ”bapak pembaru ekonomi China” Deng Xiaoping mencanangkan satu negara dua sistem pada tahun 1978, negeri tirai bambu itu selalu meraih prestasi menakjubkan. Ekonominya senantiasa gemerlap, dan berkilau-kilau.

Bayangkan saja, AS hanya mampu tumbuh 3 persen, tetapi China mampu tumbuh 13 persen sampai 18 persen. Dengan pergerakan sebesar itu, dan konsisten selama 30 tahun, China hanya mampu bertengger di urutan ketiga dunia, di bawah AS dan Jepang.

Penduduk miskin
Bagaimana dengan India yang kini masih sibuk mengurus 60 persen penduduknya yang miskin dan di bawah garis kemiskinan? Dengan angka 60 persen, berarti ada 720 juta rakyatnya yang hidup di bawah kriteria pas-pasan. Apa mudah mengangkat mereka dari jurang dalam? Jika India hendak menjadi raksasa ekonomi 15 tahun mendatang, itu berarti negara itu harus meraih pertumbuhan ekonomi 30 persen per tahun.

Cermin lain dapat diperoleh dari Jerman. Negara dengan kekuatan ekonomi keempat setelah AS, Jepang, dan China ini mampu menjadi kekuatan yang diperhitungkan karena dikenal sebagai bangsa yang cerdas, terampil, berwawasan global, menguasai semua teknologi tinggi, dan warganya mempunyai kebanggaan khas Jerman. Apa yang tidak bisa dilakukan Jerman? Mobil terbaik dunia dari Jerman. Mesin perang, obat-obatan, barang-barang berkualitas yang merajai pasar dunia juga buatan Jerman. Padahal, negara ini pernah hancur akibat perang. Jerman bisa bangkit dari keping-keping yang tercabik. Dan 15 tahun setelah Perang Dunia II, Jerman sudah menjadi kekuatan ekonomi dunia yang sangat dominan.

Akan tetapi, Jerman tidak bisa disamakan dengan India. Jerman sudah hebat sebagai sebuah negara ketika fisik negaranya hancur, dan tatkala reputasinya sebagai bangsa runtuh. Karena sebelumnya mereka sudah digdaya, sumber daya manusianya kelas satu, infrastrukturnya keren, dengan mudah mereka mengubah keadaan. Menjadi bangsa sangat terpandang di dunia. Apa yang dilakukan Jerman juga dilakukan negara yang kalah perang pada Perang Dunia II, Jepang. Masalahnya, apakah India mampu mengikuti jejak China, Jerman, dan Jepang? Potensinya tentu banyak, tetapi apa yang diandalkan India?

Negeri yang pernah melahirkan orang hebat seperti Mahatma Gandhi dan Rabindranath Tagore ini bukan negara dengan sumber daya ekonomi luar biasa. India bukan Arab Saudi yang sangat kaya ladang minyak. Menggali tanah sedalam satu meter saja, minyak bumi sudah muncrat keluar. India pun bukan AS yang mempunyai apa saja: minyak bumi, batu bara, besi, uranium, emas, perak, lahan subur, sumber daya manusia yang sangat berkualitas, pasar domestik yang dahsyat, dan sebagainya. Pun, India bukan Spanyol, bukan Italia, bukan Yunani, bukan Mesir, bukan China, bukan pula Jepang, bukan juga Rusia yang mempunyai amat banyak peninggalan berusia ribuan tahun.

Peninggalan-peninggalan sejarah itu menjadi surga turis. India pun memiliki banyak peninggalan sejarah, tetapi yang populer tidak banyak, di antaranya yang baru berusia empat abad Taj Mahal, Chowmahalla Palace, masjid-masjid bersejarah di Hyderabad, dan Basilika St Thomas di Chennai. India juga tidak memiliki hutan yang luas sebagaimana Brasil, Kongo, Indonesia, dan negara-negara Skandinavia. India tidak memiliki areal pertanian amat luas seperti AS karena penduduknya terlampau banyak. Ekspansi manusia atas lahan subur sangat deras. India tidak memiliki banyak danau sebagaimana Swiss dan Finlandia.

Di luar aspek ini terdapat satu stereotip untuk segelintir orang India, yakni mereka merasa senang jika bisa ngerjain dan atau memperdaya orang. Entah bakat ini datang dari mana, tetapi kebiasaan segelintir orang India yang suka berbohong dan tidak tepat waktu ini yang membuat warga dunia acap tidak nyaman.

Pendidikan murah
India boleh menawan dan mempunyai banyak peninggalan kelas dunia, tetapi kalau tabiat tersebut masih melekat, tidak banyak warga dunia suka datang.

Kembali ke pertanyaan awal, apa yang dimiliki India untuk memenuhi ambisinya? Ada beberapa aspek yang sangat potensial. Pertama, dunia percaya bahwa India mempunyai sumber daya manusia kelas satu. Di negeri penuh manusia ini (bayangkan saja Mumbai dan Kolkata dihuni masing-masing 30 juta penduduk, New Delhi 18 juta, atau sama dengan seluruh penduduk benua Australia), sekolah demikian mudah dan murah.

Untuk sekolah S-1, Anda hanya butuh uang kuliah tidak sampai Rp 2 juta. Untuk S-2 tidak sampai Rp 4 juta, dan untuk S-3 tidak sampai Rp 6 juta. Semua biaya pendidikan itu dari tahun pertama kuliah sampai selesai. Coba, di negara mana dapat menemukan biaya sekolah semurah itu? Dan jangan keliru, meski biayanya murah meriah, mutu sekolah di India sangat tinggi.

Dengan kualitas sebagus itu, India mudah melambungkan cita-cita. Kapal perang mutakhir, kapal penumpang, dan pesawat terbang dengan mudah mereka buat. Sepeda motor, mobil, truk sampai kereta api dengan sekejap dapat dibuat. Begitu pula membuat mesin-mesin presisi, traktor, komputer, jam tangan, dan sebagainya.

Begitu hebatnya kemampuan putra-putri India ini sehingga pernah suatu ketika, 90 persen barang kebutuhan warga India adalah buatan domestik. Bahkan, China yang demikian perkasa dengan produk dalam negeri tidak secemerlang India.

Kedua, India berjalan di barisan terdepan untuk teknologi presisi dan teknologi tinggi. Dunia sangat mengakui kemampuan India ini sehingga putra-putri India merajalela di dunia sebagai ahli-ahli teknologi tinggi yang sangat berkelas.

Negara-negara Eropa, Asia, dan Amerika memanfaatkan kemampuan India ini untuk menopang negeri mereka. Tanpa kehadiran para ahli India, akselerasi pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan dan keahlian tinggi kurang terasa. Kemampuan sumber daya manusia yang sangat tinggi ini buah dari sekolah yang sangat bermutu dan luar biasa murahnya.

Ketiga, warga India dan pemerintahnya yang bersemangat sosialis sangat sederhana. Bayangkan, kini terdapat 10 orang India yang masuk dalam daftar 50 warga terkaya dunia.

Akan tetapi, lihatlah pemandangan kontradiktif di India sendiri. Tidak tercium aroma dan sinar kemewahan di sana. Mobil yang berseliweran di jalan umumnya mobil sederhana. Ada, misalnya, mobil Ambassador Classic yang harganya antara Rp 80 juta sampai Rp 105 juta. Dan hebatnya, inilah mobil yang digunakan para menteri di India.

Perdana Menteri Manmohan Singh juga menggunakan Ambassador, mobil sederhana mirip Fiat dan Impala tahun 1950-an dan 1960-an di Indonesia. Mobil nyaman sekelas Mercy, Lexus, dan BMW sesekali tampak di jalan raya, tetapi sungguh bisa dihitung dengan jari. Mobil-mobil luks seperti limo dan Rolls Royce baru keluar dari kandangnya kalau ada tamu negara sahabat berkunjung. Uniknya, mobil mewah itu dinaiki para tamu negara, sementara pejabat India tetap naik mobil Ambassador itu.

Hidup sederhana
Orang India, seperti diutarakan CEO Times of India Ravi Dhariwal, adalah orang-orang yang sangat sederhana dan melihat keperluan manusia berdasarkan fungsi. Orang India selalu tampil sederhana, tidak berlebihan. Atau, seperti diutarakan James Vennkatesh, seorang usahawan menengah di Chennai, pakaian kita ketahui untuk menutupi sebagian besar tubuh. Nah, kalau bisa membeli kemeja dengan harga Rp 50.000, dan ternyata bagus-bagus saja, untuk apa mesti membeli satu potong kemeja seharga Rp 50 juta?

Contoh lain, kalau bisa beli sepatu kuat, gagah, tidak memalukan dipakai, dan harganya hanya Rp 100.000, untuk apa pasang aksi dengan membeli sepatu seharga Rp 12 juta? Atau arloji, kalau ada arloji sangat bagus, tidak perlu diputar tiap menit, tetapi harganya hanya Rp 75.000, lalu untuk apa mesti membeli arloji seharga Rp 300 juta?
Keempat, warga India adalah tipe pekerja keras dan tahan derita, mirip karakter orang-orang China daratan. Dengan kelebihan ini, mereka bisa merintis usaha menjadi bangsa sangat terkemuka di dunia. Namun, apakah dalam tempo 15 tahun India sudah bisa melejit menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor satu atau sebutlah nomor dua di dunia? Rasanya masih sulit. Meski demikian, janganlah kita meremehkan India. Biarlah waktu yang menjawabnya.

Kiat Menembus Barikade Pasar

Peluang Bisnis Ketika diminta pemimpinnya membuka pasar produk Indonesia di India, Thomas William sempat berpikir keras. Strategi pasar apa yang dapat ia terapkan untuk menembus pasar negeri sangat kaya manusia itu? Formula yang ia gunakan ketika menyelusup ke pasar Filipina empat tahun terakhir tentu tidak bisa diaplikasikan di India. Karakter pasar Filipina berbeda dibandingkan dengan India.

Ketika datang ke Chennai, kota di pantai timur bagian selatan India, Thomas (31) dan teman-temannya dari Grup Mayora mendapatkan jurusnya. Berbisnis di India harus ekstra lugas, uang diterima di depan, dan dalam melakukan transaksi bisnis harus sangat detail. Menggaet mitra harus ekstra selektif, ibarat mencari istri. Salah pilih sungguh repot urusannya.

Thomas yang ditugaskan memasarkan produk permen Kopiko, Choki-choki, dan Kukis Mayora mempelajari karakter pasar dan kebiasaan masyarakat India. Ia melihat masyarakat di India lebih banyak minum teh dibanding kopi, sementara masyarakat di selatan lebih banyak menyeruput kopi. Maka ia memutuskan menjual permen Kopiko di negara bagian Tamil Nadu sebagai pasar utama di selatan India. Lalu Chennai, salah satu kota besar India dengan penduduk 8 juta jiwa, ia pilih sebagai markasnya.

Thomas menyiapkan segala sesuatunya dengan matang. Ia merekrut wiraniaga, agen, staf, dan mitra di lapangan secara hati-hati. Ia pun aktif beriklan, sambil masuk-keluar rumah masyarakat India memperkenalkan produknya. Ia juga kerap datang sendiri ke sekolah-sekolah India untuk memperkenalkan produknya.

”Serius, tidak mudah masuk pasar India, sebab masyarakat di sini sangat cinta produk dalam negeri,” ujar Thomas di Chennai baru-baru ini. Tetapi, pria berambut pendek asal Pontianak ini kemudian menuturkan, warga India pada dasarnya intelek sehingga bisa diajak bicara dengan pikiran jernih. Mereka kemudian bisa menerima produk Kopiko, yang memang rasa kopi.

Lalu bagaimana agar produk itu terjangkau publik India? Apa resepnya meluncurkan produk Kopiko hingga kuat bersaing dengan produk lokal? Seperti diketahui, secara teori produk lokal mestinya lebih murah karena tidak dikenai pajak impor, dan tanpa biaya transportasi antarnegara. Thomas menuturkan, Kopiko dibuat sedikit lebih besar dibanding permen biasa sehingga pantas saja kalau harganya sedikit lebih mahal.

Akhirnya, dengan pelbagai upaya itu, Kopiko diterima luas pasar India. Omzet Kopiko sudah miliaran rupiah per bulan. Tugas Thomas kini ialah memassalkan produk ini sehingga dalam tiga tahun mendatang Kopiko sudah beromzet di atas Rp 10 miliar. Di luar Kopiko, Thomas juga memasarkan Kukis Danisa dan sejumlah makanan kecil.

Selain Mayora, banyak grup usaha Indonesia yang sudah masuk India. Produk-produk Indofood, Maspion, Kacang Garuda (Grup Tudung), Bintang Todjoe, Gajah Tunggal, aneka jenis biskuit, peralatan rumah tangga, kain batik, sepatu, farmasi, dan sebagainya mudah ditemukan di pasar-pasar India. Kacang Garuda, misalnya, yang memiliki banyak varian produk kacang, permen, enting dan wafer, praktis relatif mudah ditemukan di hampir semua mal di belahan selatan India.

Pasar luar biasa
Cerita tentang kiprah Thomas, Mayora, Indofood, Kacang Garuda, Bintang Todjoe, dan sebagainya ditulis di sini untuk menginspirasi produsen lain di Indonesia agar segera memasuki pasar luar negeri, termasuk India. Para produsen atau industriwan Indonesia patut mempertimbangkan memasuki pasar-pasar tertentu, di antaranya India, China, Rusia, dan Brasil.

Selama ini pengusaha Indonesia terlampau terpaku pada pasar Eropa, Jepang, serta Amerika Serikat. Padahal, kalau Indonesia menguasai pasar India dan China yang notabene sangat berkilau, dampaknya pasti luar biasa. Sebab, itu berarti Indonesia sudah mendominasi pasar yang penduduknya mencapai hampir setengah penduduk dunia.

Sebutlah Indonesia ”hanya memasarkan permen”, tetapi kalau permen itu dikonsumsi beberapa miliar penduduk dunia, bukankah itu amat luar biasa? Dampaknya akan jauh lebih hebat kalau usahawan Indonesia mengekspor komoditas dengan harga lebih mahal dan sifatnya massal. Atau, seperti disampaikan Direktur Pusat Promosi dan Perdagangan Republik Indonesia (ITPC) di Chennai, Aksamil Khair, sebaiknya usahawan besar Indonesia ”menyerbu” pasar India. Negara ini tengah bangkit ekonominya. Pertumbuhan ekonominya tertinggi kedua di dunia setelah China. Praktis India kini gadis rupawan dan wangi yang menjadi rebutan banyak pemuda tampan.

Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur India, menurut pengamatan di lapangan sangat hebat, sebab negeri berpenduduk 1,2 miliar jiwa itu tengah membutuhkan puluhan ribu kilometer jalan baru, jembatan lebih panjang dan lebih lebar, jalan layang, dan jaringan kereta api. Pengusaha Indonesia pasti akan sukses dengan jalan tol sebab jalan tol di India, begitu pula jalan layangnya, maaf saja, terkesan di bawah mutu jalan tol dan jalan layang Indonesia.

Para pengusaha properti juga tak ada salahnya kalau berbisnis di India. Negara ini memerlukan jutaan rumah per tahun. Kalau pengusaha Indonesia mampu mengambil satu persen saja dari kebutuhan India, sudah sangat luar biasa. Dan, ini baru urusan rumah hunian, belum termasuk apartemen, perkantoran, mal, dan sebagainya. Para pengusaha semen Indonesia dapat pula memasok produknya ke negara yang tengah mati-matian membangun ini.

Cerdas dan hati-hati
Akan tetapi, di balik gemerlap bisnis di India, dan terlepas dari sangat luasnya peluang bisnis di sana, terdapat hal yang perlu digarisbawahi, yakni para usahawan harus ”cerdas, cermat, dan amat teliti”. Orang-orang India dikenal sebagai ”orang- orang amat cerdik, lihai, dan susah diduga”. Maka untuk lancarnya bisnis, usahawan Indonesia harus membahas semua deal sampai amat detail.

Semua kriteria yang disepakati harus transparan. Mana yang boleh dan mana yang tidak boleh harus konkret. Kalau tidak hati-hati, Anda siap-siap ke laut. Kalau bisa, usahakan ada dalam deal konkret bahwa pembayaran dilakukan dengan tunai.

”Kalau pembayaran dengan kredit, Anda jebol,” ujar Thomas Wiliam, yang selalu menggunakan instrumen tunai dalam menjalankan bisnisnya di India. Thomas memilih lebih baik tidak menjual produknya daripada harus dengan kredit. Aspek lain, usahakan ada orang lokal yang membantu bisnis Anda. Pilihan pada orang lokal pun harus melalui seleksi luar biasa ketat dan semacam “ujian” yang berlapis.

Pentingnya kehati-hatian karena perangai sejumlah orang India memang unik. Kalau transaksi tidak benar-benar bersih, biasanya disertai penyesalan. Contoh ringan bisa seperti ini. Dua turis Asia naik bajaj, hendak menuju GVK One Mall, mal papan atas di Chennai. Dalam tawar-menawar yang sangat jelas, dan bahkan menggunakan jasa staf hotel tempat turis itu menginap, disepakati tarifnya 100 rupee. Karena sudah sangat jelas, turis tersebut naik bajaj itu sambil tertawa.

Dalam perjalanan, tiba-tiba si tukang bajaj berhenti di tepi jalan. Ia menyatakan, perjalanan ke GVK lebih jauh dari perkiraannya. Ia meminta tambahan bayaran, bukan 100 rupee, melainkan 200 rupee. Dua turis Asia itu tentu saja keberatan. Mereka kemudian terlibat adu mulut, tetapi karena enggan ribut, kedua turis mengiyakan 200 rupee.

Akan tetapi, apa lacur? Tatkala tiba di GVK One Mall, sopir bajaj minta 400 rupee. Kedua turis itu jelas naik pitam. Mereka berkeras hanya mau bayar 200 rupee. Si sopir berkeras harus bayar 400 rupee.

”Baiklah, kenapa harus 400 rupee?” tanya seorang di antara turis itu, yang tubuhnya buncit. ”Ya, karena masing-masing penumpang harus membayar 200 rupee. Di bajaj saya, tiap penumpang harus bayar,” ujar sopir bajaj itu dengan kalem.
Ucapan sopir itu memang seenaknya, tetapi bagaimana melawannya? Akhirnya kedua turis Asia itu tidak hirau lagi. Ia menggeletakkan uang 200 rupee di jok bajaj dan ngeloyor pergi dari situ. Sopir bajaj berteriak- teriak, tetapi keduanya tak peduli dan langsung masuk mal. Seorang di antara mereka berkata, ”Orang di sini memang unik.”

Sumber: KOMPAS, 29 Desember 2009

Pengorbanan dan Kesederhanaan

Janji kami bertemu dengan Susanto Nanda, mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Hyderabad, Senin, 30 November, batal. Sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggam kami. Isinya: ”Pak, kami tak bisa ke kota karena jalan ke kota diblokir mahasiswa yang menuntut pemekaran wilayah”.

Unjuk rasa memang sedang terjadi di ibu kota Andhra Pradesh, Hyderabad, India bagian selatan, ketika kami sedang berada di Hyderabad untuk menghadiri Kongres Asosiasi Surat Kabar Dunia, 1-4 Desember 2009. Mahasiswa dari beberapa universitas berunjuk rasa. Salah satu isunya adalah pemekaran wilayah. Pada awalnya, unjuk rasa berjalan damai, tetapi beberapa hari kemudian, setelah kami meninggalkan Hyderabad, terjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dan aparat kepolisian.

Demonstrasi dengan kekerasan sering terjadi di India. Kekerasan komunal dan kekerasan politik seakan menjadi sesuatu yang lumrah terjadi di negara dengan populasi penduduk mencapai 1,2 miliar itu. Tayangan televisi internasional seakan menggambarkan betapa seringnya terjadi kekerasan di India.

Pembunuhan politik kerap terjadi. Bahkan, Bapak Bangsa India, Mahatma Gandhi, ditembak oleh Godse, 25 Januari 1948. Sebelumnya, 19 Januari 1948, Madan Lai, seorang pemuda Hindu, mencoba membunuh Mahatma Gandhi dengan bom, tetapi gagal.

Pembunuhan terhadap Mahatma Gandhi tak bisa dilepaskan dari sikap Mahatma Gandhi yang menentang pemisahan India menjadi dua negara. Sikap Gandhi yang menganjurkan orang Hindu dan Muslim saling mencintai dan hidup bersama dalam satu negara disalahmengertikan kedua kelompok sampai akhirnya Gandhi dibunuh.

Kekerasan terhadap elite politik di India masih terus terjadi. Indira Gandhi tewas tahun 1984 oleh para pengawal pribadinya. Tujuh tahun kemudian, mantan Perdana Menteri India Rajiv Gandhi tewas dalam ledakan bom pada saat kampanye pemilihan umum tahun 1991.

Ledakan bom di sejumlah wilayah di India sering terdengar. Aksi kekerasan yang akrab terjadi di negara demokrasi terbesar di dunia itu sering menghadirkan pertanyaan, apakah aksi kekerasan bukan merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita Bapak Bangsa India, Mahatma Gandhi, yang tersohor dengan paham pantang kekerasan (ahimsa).

Kekerasan memang akrab di India, termasuk negara lain di Asia Selatan. Meski demikian, demokrasi tetap diyakini mayoritas penduduk India sebagai suatu pilihan terbaik bagi India. Demokrasi diyakini kelompok kurang beruntung di sana sebagai sarana memperbaiki nasib. Meski kekerasan sering terjadi, kekerasan diyakini tidak akan langgeng. Mahatma Gandhi sendiri menulis, ”Pengalaman sampai sekarang menunjukkan bahwa kekerasan itu hanya membawa sukses jangka pendek”.

Ditemui Kompas di Chennai, ibu kota Tamil Nadu, Konsul Kehormatan Indonesia di Chennai, KJ Kumar, meyakini bahwa kekerasan tidak akan pernah menang di India. Ia pun mencontohkan pemberontak Tamil Eelam yang akhirnya juga menyerah.

Kontradiksi
India adalah sebuah negeri penuh wajah. Ada gemerlap Bollywood, tetapi ada pula wajah kemiskinan akut. Meski kekerasan politik sering berkecamuk, dan kemiskinan menjadi potret nyata India, negeri ini mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi spektakuler!

Bank Dunia mencatat angka pertumbuhan ekonomi di India terus meningkat. Dari angka 4 persen (tahun 2000), kemudian meningkat menjadi 9,4 persen (2005), turun ke 9,1 persen (2007), dan ketika krisis keuangan global terjadi India masih mampu tumbuh dengan angka 7,1 persen pada tahun 2008.

Pada tahun 2008, Bank Dunia memberi catatan positif terhadap India yang meraih kemerdekaan pada tahun 1947 itu. India tercatat sebagai negara yang terus mampu mempertahankan sistem demokrasi elektoral, meningkatkan secara dramatis tingkat baca, perbaikan pada aspek kesehatan publik, dan menjadi pemain dunia dalam bidang teknologi informasi, telekomunikasi, dan farmasi.

Gambaran besar soal India dalam angka dan statistik memang terasa berbeda dengan realitas nyata rakyat. Mengunjungi empat kota di India—Hyderabad, New Delhi, Agra, dan Chennai—kesan kebesaran India seakan tidak tampak. India yang banyak dipuji negara lain karena pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan, 7,1 persen! menurut Bank Dunia—ketika negara lain mengalami pertumbuhan negatif—memberikan gambaran berbeda.

Di Hyderabad, potret kemiskinan hadir dengan nyata. Gubuk tenda tempat sebagian besar warga miskin Hyderabad bisa disaksikan oleh siapa pun yang berkeliling kota yang baru saja menggelar Kongres Asosiasi Surat Kabar Dunia dan Forum Editor Dunia. Sudut kota Hyderabad begitu kumuh. Bau pesing begitu menyengat di sejumlah sudut kota. Infrastruktur jalan tidaklah mulus.

Meskipun terasa lebih baik, dalam sisi penataan kota, situasi serupa pun bisa dilihat di New Delhi, ibu kota India, dan Chennai, ibu kota Tamil Nadu, India bagian selatan. Di New Delhi dan Chennai, gubuk-gubuk tenda masih banyak dijumpai di halaman-halaman kota.

Kesenjangan ekonomi adalah sesuatu yang nyata di India. Jurang antara yang miskin dan kaya begitu besar. Lebih dari 600 juta penduduk India tergolong miskin. ”Ketika musim panas dan dingin, banyak orang miskin yang tak punya rumah meninggal karena suhu yang ekstrem,” ujar seorang mahasiswa Universitas Islam Aligarh di Agra.

Kumar mengakui bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebuah potret nyata di India. Namun, katanya, semuanya itu masih dalam proses. Pemerintah India terus berupaya menciptakan lapangan kerja untuk mengatasi problem itu.

India adalah negara dengan kompleksitas persoalan yang tinggi. Karena keberagaman yang begitu rupa dalam masyarakat India, seperti agama, wilayah, bahasa, kasta, dan ras, mengakibatkan munculnya partai politik dengan agenda yang beragam pula. Dampak negatif dari keberagaman yang ada dalam masyarakat India, serta kesenjangan sosial, politik, dan ekonomi yang tercipta, karenanya mengarah pada dendam dan kebencian. Ini mungkin sumber utama dari kekerasan yang terjadi selama ini.

Adanya ajaran ahimsa (the avoidance of violence), yang mendasari perjuangan Mahatma Gandhi yang terkenal dengan Satyagraha (the insistence of the truth), dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan India sampai sekarang masih dianut dan diyakini betul di India.

”Ini menunjukkan sebenarnya masyarakat India itu cinta akan kedamaian dan setia pada kebenaran. Itu sangat saya rasakan sebagai mahasiswa asing di Hyderabad sejak 2005,” demikian refleksi Susanto yang sudah hampir lima tahun tinggal di Hyderabad.

Setia di demokrasi
Duta Besar Indonesia untuk India AM Ghalib saat berbincang dengan Kompas di New Delhi mengemukakan, India ibarat seekor gajah yang melangkah perlahan namun pasti. Dari sisi jumlah penduduk, pesaing India adalah China. China sering diibaratkan sebagai pelari sprint yang membawa pertumbuhan ekonomi begitu cepat. Bedanya, India adalah negara demokrasi terbesar di dunia, sedangkan China adalah negara besar di dunia yang belum menganut paham demokrasi.

Kemajuan India di bidang ekonomi memang mencengangkan. Keputusan India menjadi tuan rumah Kongres Asosiasi Surat Kabar Dunia dan Forum Editor Dunia adalah juga sebuah keputusan berani. Kepercayaan diri adalah salah satu kata kunci untuk ”memasarkan” negara.

Sistem politik demokrasi amat diyakini oleh mayoritas rakyat India. ”Demokrasi India telah teruji,” ujar seorang diplomat di New Delhi. Politik pemerintahan India menganut parlementer federal multipartai.

Demokrasi diyakini oleh kaum yang kurang beruntung di India sebagai jalan memperbaiki hidup dan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Slogan yang sangat sering didengar ketika mahasiswa berdemonstrasi di kampus adalah: We want justice. Intinya, keadilan adalah hak semua orang.

India sering disebut sebagai sovereign socialist secular democratic republic atau sering diterjemahkan republik sosialis demokrasi sekuler. Kebijakan ekonomi ala sosialisme ketat diterapkan di India pada era 1947-1991. Model ekonomi India kala itu sering disebut sebagai sistem ekonomi Nehru, menempatkan perusahaan negara sebagai pendorong utama pembangunan ekonomi.

Sistem ekonomi sosialistis Nehru ini mengalokasikan anggaran negara dalam jumlah besar untuk sektor pelayanan publik, apakah itu kesehatan, pendidikan, ataupun kontrol terhadap harga kebutuhan pokok. Meski tingkat pertumbuhan ekonomi tidak terlalu besar, sekitar 4 persen, sistem ekonomi Nehru telah melahirkan kelas menengah India dalam tataran intelektual dan pengusaha yang mampu bersaing.

Manmohan Singh, doktor ekonomi Universitas Oxford, berperan besar dalam melakukan reformasi ekonomi di India. Singh pernah menjabat menteri keuangan pada masa Perdana Menteri Narasimha Rao. Singh melakukan reformasi birokrasi secara radikal dengan memangkas hambatan di birokrasi India dan pada akhirnya menjadikan India lebih terbuka.

Singh kemudian diangkat sebagai perdana menteri setelah Sonia Gandhi memutuskan menolak jabatan perdana menteri pada tahun 1994. ”Dia pemimpin saya. Dia tidak tergantikan,” kata Singh saat memberikan sambutan pada pelantikan dirinya sebagai PM India. Singh, keturunan Sikh pertama yang menjadi PM, mengaku kagum kepada Sonia.

Kebijakan ekonomi India telah menempatkan kelas menengah bisnis maupun kelas menengah intelektual siap menghadapi India yang lebih terbuka. Kesiapan sumber daya manusia adalah buah dari investasi besar India dalam sektor pendidikan. Cara hidup orang India yang simpel dan sederhana diyakini juga memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan India.

Faktor lain yang menjadi perekat harmoni sosial adalah keteladanan pemimpin India. Para pemimpin India tetap menggunakan mobil Ambassador buatan dalam negeri kendati negaranya mampu membeli mobil yang lebih mewah. Mereka, termasuk Presiden India Pratibha Devisingh Patil, menggunakan pakaian tradisional sari. Tak ada kemegahan kantor-kantor pemerintahan karena India lebih mementingkan fungsi.

Pengorbanan dari pemimpin India juga telah ditunjukkan oleh Sonia Gandhi saat dia menolak jabatan PM dan menyerahkannya kepada Manmohan Singh ketika latar belakang dirinya dipersoalkan oleh lawan politiknya. Sebagai Ketua Partai Kongres, Sonia mendukung secara politik kebijakan ekonomi PM Singh yang terbukti mampu membawa India ke jajaran bangsa-bangsa dunia.

Sikap Sonia yang menolak jabatan PM sejalan dengan apa yang pernah dikatakan Mahatma Gandhi bahwa kekuasaan politik bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya salah satu sarana yang memungkinkan rakyat memperbaiki nasib mereka dalam segala bidang kehidupan.

India yang majemuk berupaya mengatasi semua perbedaan yang ada padanya. Jender, bahasa, agama, kelas, kasta, telah dimasukkan dalam sebuah mesin politik dan muncul dengan identitas tunggal: India. Demokrasi membutuhkan sebuah partisipasi dan komitmen dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk para pemimpinnya. Ketika pemimpin memahami derita rakyatnya, India telah membuktikan bahwa kemiskinan sebagian besar rakyatnya menjadi penghalang terwujudnya demokrasi.
Bagaimana India di masa mendatang? Masih harus kita saksikan bersama, termasuk siapa yang akan menggantikan PM Manmohan Singh. India telah memberikan kesempatan kepada siapa pun, asal mempunyai kapasitas, untuk memimpin India. Seperti dikatakan Rahul Gandhi—yang disebut-sebut sebagai pemimpin masa depan India—dalam diskusi dengan mahasiswa Universitas Islam Aligarh, 8 Desember 2009, sebagaimana dikutip Deccan Cronicle, ”Manmohan Singh menjadi perdana menteri bukan karena ia orang Sikh, melainkan karena ia mampu mengatasi berbagai masalah di India.”

Sumber: KOMPAS, 29 Desember 2009

Perjalanan Menuju Monumen Cinta


”Agra dapat menjadi taman firdaus yang sangat indah bagi para wisatawan, tetapi dapat pula menjadi neraka atau mimpi yang amat buruk. Kota ini sekaligus menyimpan keindahan dan kekumuhan; kebahagiaan dan penderitaan....”

Itulah kalimat pertama ketika wartawan Kompas, Trias Kuncahyono, mengunjungi Agra dan menuliskan laporannya di Kompas, 26 Juni 2000. Agra adalah ibu kota dari Uttar Pradesh, sekitar 200 kilometer dari New Delhi.

Berbicara soal Agra, orang akan berbicara soal Taj Mahal, salah satu dari tujuh keajaiban dunia, yang masih menjadi daerah tujuan wisata terkemuka di India.

Taj Mahal masih berdiri dengan tegak di kota Agra. Puncak peradaban umat manusia yang berupa pemakaman itu dibangun dalam paduan arsitektur Persia, Turki, Islam, dan India. Taj Mahal yang sering disebut sebagai monumen perlambang keabadian cinta dibangun tahun 1632-1648 atas perintah Kaisar Mughal Shah Jahan untuk mengenang istrinya, Mumtaz Mahal.

Makam dibangun untuk mengenang istri yang dicintainya yang meninggal saat melahirkan anak mereka yang ke-14. Lebih dari 20.000 pekerja dan 1.000 gajah dikerahkan untuk membangun monumen cinta tersebut. Kompleks yang masih menunjukkan kemegahan dan kemewahan itu terletak di tepi Sungai Yamuna. Marmer terbaik didatangkan dari berbagai wilayah India, Asia Tengah, dan China.

Kedatangan kami ke Agra sebenarnya lebih karena faktor keberuntungan. Setelah menghadiri Kongres Asosiasi Surat Kabar Dunia di Hyderabad, 1-4 Desember, kami berangkat ke New Delhi untuk bertemu dengan para petinggi The Times of India, surat kabar terbesar di dunia dengan tiras 4 juta, dan bertemu dengan Duta Besar RI di India AM Ghalib.

Pada saat kami tiba di New Delhi, Ghalib justru sedang berada di Jakarta dan baru balik ke New Delhi pada 5 Desember. Karena itulah, sambil menunggu waktu, Ghalib meminta staf lokal KBRI, Muhammad Iksan, untuk menyertai kami ke Agra. Akhirnya, sepanjang hari Sabtu, 5 Desember, kami menuju Monumen Cinta.

Ketika pagi masih buta, hari Sabtu itu, kami meninggalkan hotel di New Delhi. Petugas hotel yang curiga terpaksa memeriksa paspor dan nomor kamar dan bertanya kepada kami mau ke mana? Akhirnya, urusan itu beres meskipun agak jengkel juga ketika terlalu dicurigai.

Perjalanan New Delhi-Agra memakan waktu lima jam dengan mobil pinjaman dari KBRI. Agra juga bisa ditempuh dengan bus umum atau kereta api dari New Delhi. Bisa juga dengan menyewa mobil dengan tarif 4.000 rupee.

Apa yang ditulis Trias sepuluh tahun lalu, soal Agra, ternyata belumlah banyak berubah. Agra tetaplah semrawut. Lalu lintas bukan hanya saling sodok, bahkan bisa melawan arah. Polisi seakan tak berdaya menghadapi itu semua.

Sepanjang perjalanan menuju Agra, sapi dan juga unta berkeliaran. Bahkan, ada sapi yang ikut ”berbelanja” di warung. Kemiskinan menunjukkan wajahnya yang nyata. Kekumuhan tetaplah menjadi wajah dominan menuju Monumen Cinta.

Perjalanan menuju Taj Mahal sangat kontras dibandingkan, katakanlah, dengan lokasi menuju Tembok Besar China, Colosseum di Roma. Atau jika mau dibandingkan dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah. Perjalanan menuju ketiga tempat itu lebih memanjakan mata wisatawan.

Pemandu wisata
Sepanjang perjalanan, Iksan dan Desmon Singh, pengemudi mobil kami, sudah membagi cerita soal kiat menghadapi pemandu wisata dan para penjaja suvenir. Banyak cerita wisatawan merasa tertipu saat berbelanja suvenir di Agra. Pesannya hanya satu: jangan direspons kalau tak mau menggunakan jasa atau membeli!

Benar juga cerita Iksan, master politik lulusan Universitas Islam Aligarh. Begitu turun dari mobil ke dekat pintu gerbang Taj Mahal, pemandu wisata menyerbu menawarkan jasa. Mereka menawarkan sejumlah keistimewaan, termasuk menawarkan pendekatan agama ketika mereka menduga kami berasal dari Malaysia. Kami lolos dari serbuan tawaran pemandu wisata meskipun Iksan harus terus bersilat lidah menolak para guide tersebut.

Matahari belum tepat di atas kepala ketika kami akhirnya menatap kemegahan dan keindahan Taj Mahal, sebuah monumen warisan dunia. Taj Mahal memang indah! Bahkan, Taj Mahal menawarkan keindahan yang berbeda-beda.

Menurut Arif B Sholihah, dosen arsitektur Universitas Islam Indonesia (Kompas, 9/10/2005) saat datang pagi hari, Taj Mahal memancarkan warna kuning dan makin siang akan makin putih. Marmer Taj Mahal kian bercahaya. Ketika datang malam hari, terlebih pada bulan purnama, bayang-bayang hitam Taj Mahal dari Sungai Yamuna akan tampak seolah ia adalah bangunan kembar Taj Mahal putih dan Taj Mahal hitam di permukaan Yamuna. Sebuah pemandangan yang amat romantis.

Taj Mahal yang sudah berumur lebih dari 300 tahun tetaplah membutuhkan perawatan. Sayang memang keretakan kecil pada celah-celah marmer di lantai tidak tertutup dengan sempurna sehingga mengurangi keindahan aslinya.

Tiga jam tidaklah cukup untuk menikmati kemegahan Taj Mahal. Terlebih jika pagi, siang, dan malam, menawarkan keindahan yang berbeda. Namun, waktu tak mungkin diperpanjang untuk berlama-lama di Taj Mahal karena kami harus segera kembali ke New Delhi.

Kami pun meninggalkan Taj Mahal dengan kenangan berbeda. Dan penjaja suvenir terus memburu kami menawarkan kaus, patung, dan kerajinan lainnya.

Dua kaus bergambar Taj Mahal pada awalnya ditawarkan 5.000 rupee. Kemudian, dengan dalih memberikan harga terbaik, meningkat menjadi 4 kaus, 6 kaus, dan terakhir 10 kaus dengan harga 5.000 rupee. Rekan kami terpancing dan akhirnya menawar bagaimana kalau 12 kaus. Terjadilah tawar-menawar amat keras. Sampai pada akhirnya, beberapa saat sebelum mobil bergerak, si penjual menyerah dan setuju 12 kaus dengan harga 5.000 rupee. Dan ketika uang 5.000 rupee berpindah tangan, dengan sigap pula si penjaja menyerahkan 10 kaus kepada pembeli, sedangkan 2 kaus lagi dimasukkan kembali ke dalam tasnya.

Mobil pun bergerak. Kami akhirnya harus merasa kalah karena ternyata hanya 10 kaus yang kami terima dari 12 yang disepakati. Sampai di hotel, kami pun membuka kaus dari plastik pembungkus dan terciumlah bau menyengat dari zat pewarna sehingga kami harus mencucinya. Ternyata, warna beberapa di antara kaus itu luntur.
Kami teringat pada cerita Iksan dan Desmon dalam perjalanan soal trik itu. Pengalaman itu kami ceritakan kepada Ghalib, dan Ghalib pun hanya tertawa. ”Itu bukan tipu khas India, tapi karena kita sendiri yang memang tidak siap,” ucap Ghalib.

Sumber: KOMPAS, 29 Desember 2009

Sunday, December 27, 2009

Jalan-jalan ke Mal Pacific Place

Setelah berkutat selama 2 hari dirumah, hari ke 3 long w'kend ini akhirnya kami keluar dari sarang n' pergi ke Pacific Place Mall yang megah itu untuk melihat pameran "World Press Photo 2009". Wah foto-foto jurnalistiknya sangat berbobot, dan kadang-kadang terbersit rasa ngeri juga lihatnya. Selesai lihat pameran, explore the mall deh...and pulangnya belanja hiasan pohon natal di "Metro", diskon 70%, lumayan untuk dipasang tahun depan, hehe...


Pineapple-nya Sponge Bob...

Salah satu suasana canteen.nya di Pacific Place Mall





Christmas tree ornaments



Hiasan-hiasan di mall...


Friday, December 25, 2009

Merry Christmas

Wishing you a warm and joy filled christmas...
Best regards,
From PapiLukas and family.






Foto-foto di bawah pohon natal kami dengan terang lilin-lilin kecil pada malam natal
24 Desember 2009.
(NIkon D80 + Nikkor 50mm f/1.4)

Sunday, December 20, 2009

Ke Pesta Lena

Long w'kend, Jum'at-Sabtu-Minggu, 18~20 Des 2009, saya ke Medan untuk menghadiri pesta pernikahan pariban Lena br. Napitupulu. Ada juga undangan dari tulangnya si Lukas pesta pernikahan Patuan Pasaribu, jadi sekalian deh.
Yup, begitulah...pesta, makan-makan, ngobrol-ngobrol, and foto-foto juga, hehe...




Jum'at subuh-subuh bangun jam 3 pagi karena saya ambil penerbangan pertama Lion Air ke Medan, pk. 6 pagi. Dibandara moto langit-lamgit ruang tunggu terminal 1.

Sampai di Medan langsung foto ini; WC Wanita di HKBP Sudirman, Medan

Sampai Medan, istirahat sebentar, langsung ke pesta pertama; Patuan Pasaribu dan Mutiara br. Panjaitan di gereja dan gedung HKBP Sudirman.







Yup, sampai disini foto-foto pestanya Patuan Pasaribu dan Mutiara br. Panjaitan

Dari sini ke bawah, foto-foto pestanya Lena & Thomas



Gedung Griya Dome, Medan

Thomas Purba & Lena br. Napitupulu





Anak-anak Porsea asli


Luna br. Pangaribuan
Hutabarat bersaudara

Iseng-iseng jeprat-jepret di rumah mertua, Op. Hitcha, jalan Gelas


Ini dijemurannya

Ini dikamar, mainan cucu-cucunya yang sudah terbengkalai..


Minggunya sampai kembali di terminal 3 Soekarno-Hatta, Jakarta. Back home deh...