Saturday, July 10, 2010

Keliling Jawa Tengah: Solo - Salatiga

Seperti biasa, jalan-jalan kami kali ini juga menggunakan flight Air Asia dengan membeli tiket jauh-jauh hari sebelum keberangkatannya. Kira-kira 7 bulan sebelum terbang, tiket sudah dibeli. Waktu itu ada promo "Rp 0,-". Ber-4, return ticket dapat Rp 420 rb sudah termasuk bagasi 15 kg pulang pergi Jkt-Jogja-Jkt. Lumayan lah...
Ke Jogja lagi? Apa lagi yang mau dilihat? Apa gak bosen?
Sebetulnya bosen sih enggak lah...kan suasananya selalu berganti-ganti. 3 Tahun lalu kami terakhir kesana, si Timmy belum ada setahun. Tapi yah, kali ini memang masanya liburan sekolah. Jogja pasti full..!
Eh bener, kota Yogyakarta dipenuhi manusia dari semua pelosok nusantara. Bukan cuma anak-anak sekolah yang study tour kesana saja, tapi pas waktunya kesana lagi ada muktamar akbar Muhammadyah. Wah..jalan-jalan macet. Hotel penuh! Yang rate normalnya sekitar 150 rb-an, pasang harga sampai 350 rb-an, itupun penuh. Beberapa rombongan sekolah yang lagi study tour gak kebagian penginapan, salah manajemen, jadinya tidur di bus. Kasian...

Tapi beruntungnya, itu hanya di hari terakhir saja liburan kami di Jawa Tengah.
Ya, saya sih sudah feeling Jogja bakalan ramai. Tapi gak tau kalau bakalan ada muktamar Muhammadyah juga.
Jadi memang kami gak full liburan di kota Jogja saja, tapi jauh-jauh hari saya sudah punya ide untuk ngajak anak-anak menjelajahi country road keliling Jawa Tengah.
So, kira-kira seminggu sebelum berangkat, akhirnya deal sewa kendaraan selama 5 hari 4 malam disana. Kami dapat di Cahaya Rent Car ( http://www.yogyes.com/ ), Rp 225 rb per 24 jam untuk Avanza lepas kunci. Sebetulnya ada beberapa yang lebih murah dari itu, juga tergantung dari pilihan kendaraannya, tapi ini kan lagi peak season...jadi susah nawarnya. 225 rb/ 24 jam lepas kunci di Jogja yang lagi peak season, not bad lah...
Tadinya sempat bingung gimana jaminannya ya? Kan biasanya harus ada KK (kartu keluarga) domisili setempat. Tapi ternyata kami cuma diminta siapin aja KTP asli, kartu NPWP, dan ID card kantor. Bisnis jadi semakin simple aja ya...
Turun dibandara Adi Sucipto Yogyakarta, mobil sudah siap. Selesai urusan administrasi serah terima kendaraan (bayarnya belakangan pas mulangin kendaraannya), cek kondisi kendaraan, selesai deh...ready to adventure.
Tujuan pertama, mampir dulu di rumah sepupunya mami lukas didaerah ring road utara, istirahat sebentar dan sarapan pagi. Setelah itu, petualangan yang sesungguhnya pun dimulai deh...

Seperti direncanakan, kami langsung menuju Solo atau Surakarta untuk menginap disana.
Saya memang sudah merencanakan untuk menginap di empat kota; Solo, Salatiga, Wonosobo, dan terakhir Jogja. Tapi kami go show saja, gak ada satupun penginapan yang sudah direservasi sebelumnya. Paling apesnya tidur di mobil...
Oya, kalau mau touring seperti ini jangan lupa bawa peta ya. Itu sangat penting sekali. Kami sendiri bawa peta yang biasanya dibagi-bagikan dipintu tol menjelang libur lebaran. Peta itu cukup detail dan sangat membantu sekali.
Menuju kota Solo, tidak jauh dari perbatasan kota Jogja, mampir dulu di Prambanan.
Sight seeing, foto-foto, dan lanjut lagi deh...
3 tahun lalu kami kesana, semua candi dipagari, pengunjung dilarang masuk, cuma bisa melihat-lihat dari luar saja. Ya, itu karena baru terjadi gempa hebat disana. Batu-batu candi kecil dan besar banyak yang runtuh dan berserakan ditanah. Saya sendiri miris sekali melihatnya waktu itu. Sayang sekali cagar budaya kita yang sangat kuno itu tidak dapat menahan guncangan gempa yang maha dahsyat menurut cerita orang-orang disana. Belakangan, saya mendengar sendiri cerita pilu mengenai gempa Jogja ini waktu saya menginap disatu desa di Bantul, rumah Mas Mendung, tukang becak di Jogja (saya nitip cariin sepeda onthel lawas dikampungnya, eh dia sendiri gak nyangka saya datang lagi dan akhirnya menginap dirumahnya, hehe...). Baca posting sepeda onthel...
Tapi Prambanan sekarang sudah bisa dimasuki, kecuali candi Syiwa-nya (yang terbesar).
Tiket masuk dijual seharga Rp 15 rb untuk hari biasa dan 20 rb untuk Sabtu dan Minggu. Ada juga tiket terusan, yaitu ke candi Prambanan & Ratu Boko Rp 25 rb hari biasa, dan 30 rb di hari Sabtu dan Minggu, itu sudah termasuk transportnya ke candi Ratu Boko. Sudah mahal juga ya...


Candi Prambanan






Kira-kira 1 jam perjalanan dari Prambanan, kami sudah sampai di Surakarta.
Sebelum memasuki wilayah Surakarta, kami mampir makan siang dulu di warung makan "Pak Min" di jl. A. Yani - Gombongan, Kartasura. Awalnya sempat bingung juga antara Kartasura dan Surakarta, ternyata itu berbeda. Kartasura adalah kabupaten, sedangkan Surakarta adalah kotamadya yang jauh lebih besar. Kalau dari Jogja ke Surakarta melewati Klaten akan ketemu Kartasura terlebih dulu sebelum memasuki Surakarta. Kira-kira 10 menit perjalanan baru masuk ke Surakarta. Demikian sodara-sodara...
Warung Pak Min ini terlihat ramai pengunjungnya, jadi menarik perhatian untuk mencoba masakannya. Menunya; berbagai jenis sop ayam, sop daging ayam, brutu ayam, brutu pecok. Apa tuh..? Brutu itu sepertinya wilayah pantat ayam, dan pecok sepertinya ada tulang-tulang belakang ayamnya. Harganya relatif murah berkisar Rp 7 rb-an seporsi sop ayamnya. Kaldunya cukup terasa dan rasanya segar, lumayan.

Memasuki kota Solo, round-round cari-cari penginapan disepanjang jalan utamanya. Sempat "coba-coba" tanya n' mampir di hotel boutique "De Solo" yang kelihatannya simple dan berkelas...tapi harganya dipatok 400 rb, itupun katanya sudah diskon 30%. Wah, bisa berabe nih...
Untungnya sudah browsing sebelumnya cari referensi dari para backpackers mengenai penginapan murah di kota ini. Langsung aja deh ke tujuan, dari pada habis waktu...hotel Matahari di jl. Kartopuran 8, Solo. Sudah ditawar-tawar habis, gak mau turun lagi dari Rp 130 rb untuk family room, AC dengan 2 tempat tidur, 1 yang queen size dan 1 lagi yang single bed. Harga sudah termasuk breakfast untuk 2 orang. Kondisi kamar cukup bersih, luas, ada balcony-nya, dan yang terutama: dekat dari PJS (pusat jajanan solo), pasar Klewer dan keraton Surakarta-nya.
Pagi esoknya, kami jalan santai ke keraton Solo, melewati PJS dan pasar Klewer. Mampir makan serabi Solo dengan harga Rp 900,- ambil 3 potong, bayar pakai uang 5 rb-an kembaliannya Rp 2.300,- pas! Ternyata uang Rp 100,- masih berlaku disini, hehe...
Sebelum pasar Klewer, belok kiri dulu memasuki kampung batik Kaoeman. Tapi karena masih pagi sekali, cuma beberapa toko saja yang sudah buka.
Capek jalan, kami istirahat dulu di bench yang ada dipinggir gang yang ada miniatur kereta kencananya. Eh, gak lama ibu yang punya rumah keluar untuk menyirami tanaman bunga dipinggir gang itu. Jadi kenalan dan ngobrol-ngobrol deh, eh malah disuruh masuk mampir kerumahnya. Jadilah kami tamu istimewa pagi-pagi di rumah itu dan disuguhi makanan minuman juga es krim.

Bapak dan ibu Suroso yang tinggal dirumah itu keduanya sudah pensiun dari pegawai negeri.
Pak Suroso dulu pengajar atau dosen di AAL (akademi angkatan laut), dan ibu Suroso terakhir berdinas di Pemda DIY Yogyakarta. Ibu Suroso ini alumnus fakultas hukum UGM lho, angkatan jebot alias angkatan tempoe doeloe. Beliau kenalannya banyak yang sudah "jadi", dan kadang masih berhubungan dengannya. Ibu Suroso sendiri punya pengalaman beberapa kali ke luar negeri untuk menari tari Jawa. Termasuk juga saat perkawinan ratu Wihelmina di Belanda sana, ia menari Jawa dihadapan Ratu Londo tersebut. Luar biasa juga ya...
Pak Suroso kegiatannya ya membuat miniatur kereta-kereta kencana tersebut, juga kapal-kapal layar terkenal masa lalu. Untuk membuat miniatur kereta kencana itu, beliau hanya melihat dari foto dikalender-kalender bekas yang ia kumpulkan. Tapi untuk miniatur kapal layar, pak Suroso membuatnya dengan skala yang presisi dari gambar yang ia punya dari buku perkapalan yang jadul. Salah satunya, ia membuat miniatur kapal layar " Sovereign of The Seas", kapal layar Amerika yang cukup terkenal dahulunya. Beliau juga punya banyak pengalaman bepergian ke luar negeri selama berdinas jadi pengajar AAL. Wah, luar biasa deh...
Pada awalnya saya heran, kenapa mereka sepertinya sangat berbahagia sekali menerima kami masuk ke rumahnya. Belakangan saya tahu ternyata mereka tidak mempunyai anak, dan tinggal di rumah itu hanya berdua saja di hari tua mereka. Kasian ya...

Didepan rumah ibu Suroso di kampung batik jl. Wijaya Kusuma No. 7, Kauman, Solo


Karya-karya pak Suroso


Pabrik Batik di Solo

Setelah anak-anak puas bercengkerama dengan eyang barunya, kami pun pamitan dan meneruskan journey kami. Melewati pasar Klewer hanya di pinggirannya saja, takut, karena pasar itu terkenal dengan copetnya. Gak jauh, sampailah kami di keraton Surakarta.
Tiket masuk keraton Rp 8 rb untuk dewasa dan 6 rb untuk anak-anak. Pengunjung ditunggu sampai jumlah tertentu dan dengan ditemani seorang guide diantar mengelilingi kawasan keraton dan museumnya. Di kawasan tertentu di dalam keraton tidak diperbolehkan memakai celana pendek dan sandal jepit, jadi sandal jepit dititipkan dan "nyeker" saja, tapi celana batik panjang disediakan untuk pengunjung laki-laki yang memakai celana pendek. So, bisa masuk dan muter-muter didalam keraton Surakarta.
Disini saya baru tahu apa bedanya; Solo dengan Surakarta?
Ternyata Surakarta itu adalah nama kerajaan turunan Majapahit, kemudian Mataram, yang kemudian pecahannya menjadi Surakarta yang berdiri di desa Solo. Begitu ceritanya...
Jadi pertanyaannya, lebih tua mana Surakarta atau Yogyakarta? Ya lebih tua Surakarta. Kerajaan Yogyakarta itu berdiri karena kerajaan Surakarta dipecah oleh Belanda dengan maksud supaya tidak terlalu kuat pada waktu itu.

Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram (diwakili oleh Sunan Pakubuwana III), dan kelompok Pangeran Mangkubumi.Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini.Pangeran Mangkubumi demi keuntungan pribadi memutar haluan menyeberang dari kelompok pemberontak bergabung dengan kelompok pemegang legitimasi kekuasaan memerangi pemberontak yaitu Pangeran Sambernyawa. Perjanjian yang ditandatangani pada bulan 13 Februari 1755 ini secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen. Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo), di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.

Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti

Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.

-dari wikipedia-


Keraton Surakarta




Menara Semedi atau Panggung Sangga Buwana
Tembok menaranya setebal 2,5 meter! Ada yang bilang menara ini untuk mengawasi benteng istana, dimana gak jauh dari situ ada juga benteng VOC. Tapi guide kami waktu itu menjelaskan bahwa menara ini adalah tempat pertemuan raja-raja Surakarta dulu dengan Nyai Roro Kidul.


Beberapa unsur bangunan di keraton Surakarta adalah buatan Belanda seperti tiang keraton ini.



Puas round-round kota Solo, perjalanan berlanjut ke Salatiga.
Kira-kira 1 jam perjalanan sebetulnya sudah sampai ke Salatiga. Tapi kemarin itu karena banyak truk-truk besar dari Jogja, Klaten, Solo dan sekitarnya yang menuju ke arah Semarang, jadinya membuat perjalanan menjadi lambat. Apalagi dari Solo ke Salatiga banyak jalan yang mendaki, ke arah perbukitan. Begitu sodara-sodara...
Makan siang, kami mampir di Boyolali, agak ke luar kota, dipinggir kiri jalan sepertinya ada warung makan yang ramai sekali, "Soto Seger Mbok Giyem". Menunya soto daging sapi atau babat yang memang seger dengan aneka tambahan lauk tusukan; telor burung puyuh, ati ampela, dll. Harga per porsinya Rp 4 rb! Iya, suer gak salah, cuma 4 rb. Sotonya sudah dicampur nasi didalam porsi ricebowl kecil. Saya sih makan 2 porsi baru terasa pas deh...sate-satenya 2.500,-an, kok jadi mahalan satenya?
Makan disini boleh angkat kaki (kalo gak tau malu), keringet-keringet sedikit, sambil dengerin musik keroncong live yang dimainkan beberapa bapak-bapak diluar warungnya, segeeeer deh pokoknya! Sekitar jam 2:30 siang kami disana, bapak-bapak pemain keroncongnya masuk ke warung dan makan siang juga. Itu tandanya warung itu sudah gak terima pelanggan lagi, alias sudah ludes dagangannya. So, be careful ya...! Hehe...

Sampai kota Salatiga, kami langsung aja cari penginapan referensi backpackers yang sering kesana; Hotel Maya di jl. Kartini, Salatiga.
Dapat room dengan harga no. 2 termahal di hotel itu, Rp 120 rb double bed tanpa AC (katanya Salatiga kan sudah dingin). Kamarnya range antara 70 rb sampai 140 rb.
Suasananya lebih mirip resort dibandingkan hotel, karena beberapa bangunan terpencar-pencar. Halamannya luas, dan ada kolam renangnya lho...lumayanlah.
Malam harinya, kami keliling kota Salatiga, jam 7 malam kok udah sepi..?!
Mampir juga ke "Lumayan Bakery" dibelakang mall Ramayana, roti dan kuenya enak-enak dan murah. Juga ada aneka oleh-oleh khas Salatiga, dan ada abon sapi buatan mereka sendiri.
Oya, kami malam itu makan di "Bakso Planet" jl. Raya Sukowati, rasanya memang maknyus deh, gak tau apa karena terbawa suasana Salatiga atau lagi laper beneran...
Pulang beli oleh-oleh dan makan malam, balik menuju hotel, kok jadi pengen tau mengenai Kopeng ya...
Sehubungan kalau siang, kelihatan Kopeng dari kota Salatiga dilereng gunung Merbabu, sepertinya asyik...
Eh, sekitar 15 km kesana menyusuri jalan yang terus mendaki, naik..naik...kok gak ketemu peaknya ya? Tadinya kami pikir bakalan ketemu peak viewpoint yang bisa melihat kota Salatiga diwaktu malam, kok gak ketemu-ketemu? Malah lihat petunjuk dijalan, anda sudah memasuki wilayah Magelang katanya, walah...putar baliklah ke hotel lagi, nonton bola piala dunia Brazil vs Belanda. Brazil keok!



Hotel Maya, di jl. Kartini - Salatiga

Satu malam menginap di Salatiga, esoknya petualangan kami lanjutkan. Tujuan berikutnya adalah Wonosobo sambil mampir di Rawa Pening dan museum kereta api Ambarawa.
Dari Salatiga ke Rawa Pening jangan lewat jalan besar yang menuju Semarang, tapi tanya aja orang sana, jalan yang kearah Rawa Pening, yang tembusnya adalah kota Ambarawa.
Kalau mau wisata ke danau Rawa Pening, stopping pointnya di obyek wisata "Bukit Cinta". Tiket masuk Rp 3 rb saja. Kami cuma dikenakan biaya Rp 10 rb, ber-4 dan mobil. Tapi pas pulangnya, ada lagi yang memungut biaya parkir mobil, yah begitulah...
Dari Bukit Cinta inilah kita bisa menyewa perahu untuk keliling danau. Tarifnya sudah dipatok Rp 30 rb per perahu, gak bisa ditawar-tawar lagi. Ya udah, kami ke tengah danau naik perahu, menabrak apungan eceng gondok yang sangat merajalela di Rawa Pening itu. Shot sana shot sini, sayang cuacanya kurang mendukung, grey dan flat sekali.
Oya, kalau kesini jangan lupa beli wader goreng. Itu berupa ikan-ikan kecil yang digoreng kering jadi seperti kerupuk renyah. Sekilonya Rp 60 rb. Kami beli 1/4 kg saja, 15 rb.
Dicemilin di mobil, eh kok anak-anak pada doyan, belum sampai Ambarawa sudah hampir habis setengahnya. Yah, terpaksa putar balik lagi ke tempat itu beli Wader goreng lagi. Ditawar, eh dapat 50 rb sekilonya. Bungkus deh...

Memasuki obyek wisata Bukit Cinta, ada bangunan ular naga yang mengelilingi kawasan itu.




Perahu membawa batang eceng gondok untuk diolah menjadi kerajinan tangan.



Rawa Pening.
Sewa perahu Rp 30 rb, keliling danau kurang lebih 45 menit.

Dari obyek wisata Bukit Cinta ke museum kereta api Ambarawa jaraknya kira-kira 10 km.
Begitu memasuki kota, langsung ada petunjuknya "Museum Kereta Api Ambarawa".
Karcis ke museum Rp 3 rb untuk dewasa, dan 2 rb untuk anak-anak.
Ekspektasi saya sangat tinggi menuju ketempat ini. Konon katanya ada kereta api lawas yang masih beroperasi dengan trek yang mendaki gunung dengan pemandangan yang luar biasa indah. Memang katanya, sekarang ini hanya dioperasikan pada waktu-waktu tertentu saja. Tapi saya berharap dimasa-masa liburan sekolah seperti ini, kereta itu akan beroperasi.
Tapi harap tinggal harap, nyatanya kecewa. Yang ada cuma kereta-keretaan wisata seperti di kebun binatang Ragunan saja bentuknya. Memang dia berjalan di rail track beneran bukan di jalan raya. Ada sekelompok turis bule yang naik kereta wisata itu, raut mukanya gak jauh dari kernyitan dahi saya, tapi mereka sepertinya pasrah saja dan menjadi tontonan turis lokal dan anak-anak sekolah yang lagi berlibur yang berebut naik kereta itu. Cukup bayar Rp 10 rb diatas untuk naik kereta itu...
Akhirnya, kami langsung balik kemobil dan tancap gas ke arah Wonosobo - Dieng.
Untungnya tadi sudah sempat keliling-keliling museum dan jepret sana-jepret sini di koleksi kereta apinya. Si Lukas excited banget di sana...




Kereta Wisata di museum kereta api Ambarawa

Suasana peron di museum kereta api Ambarawa.


Keliling Jawa Tengah: Wonosobo - Jogja

Dari Ambarawa menuju Wonosobo melewati Temanggung jalan lebih banyak mendaki. Truk-truk bermuatan berat jadi memperlambat arus lalu lintas. Kita terpaksa mengekor sampai situasi aman, baru kemudian menyalib. Wah, gimana kalau begini terus sampai Wonosobo? Berabe deh...
Eh, sekonyong-konyong terdengar suara sirene sedan polisi dari belakang. Mobil itu mengawal beberapa kendaraan rombongan pejabat daerah setempat menuju arah yang sama dengan perjalanan kami.
Dengan pongahnya memaksa kendaraan lain untuk menepi sehingga mereka dapat leluasa maju dengan kecepatan lumayan. Begitu mereka lewat, dasar insting orang Jakarta, di kendaraan terakhir rombongan, saya langsung banting setir kekanan mengekor ketat iring-iringan mereka.
Wah, bukan lumayan lagi...mungkin ada sekitar 20 menit saya mengekor dibelakang mereka dengan kecepatan tinggi (sekitar 80-an km/jam dijalan yang banyak mendaki), sampai akhirnya mendekati wilayah kota Temanggung.
Sampai di Temanggung, sebetulnya, saya ingin sekali mampir cari jajanan disana, tapi sayang saat itu hujan turun lebat sekali.
Sekitar 21 tahun yang lalu, masih duduk di kelas 2 SMA, saya pernah mengunjungi kota itu. Selama 10 hari, saya dan seorang kawan kental saat SMP, berpetualang sampai kekota-kota di Jawa Tengah. Waktu itu kami hanya mengandalkan pengetahuan mengenai plat-plat nomor kendaraan di Jawa. Menunggu truk di persimpangan atau lampu merah, dan naik ke baknya menuju kemana saja truk itu membawa kami sampai keperhentian terakhirnya, digunung, dihutan, didesa terpelosok, ataupun kota. Uang dikantong hanya seadanya saja...
Sewaktu kami akhirnya sampai di Jogja waktu itu, di jl. Malioboro ada karnaval seperti pawai 17 Agustusan. Ada satu group marching band dari SMA Stella Duce yang lagi perform melewati kami. Saya ambil ancang-ancang untuk memoto satu cewek cantik yang direspon dengan memberikan pose terbaiknya ke saya dengan sedikit memiringkan badannya keluar dari format barisan marching band itu. Eh, gak nyana, didekat benteng Vredeburg kami bertemu lagi. Saya memberanikan diri untuk berkenalan, minta alamat, dan mengunjunginya di kota Temanggung, dirumah orang tuanya (dia sekolah di Stella Duce, Jogja). Ternyata orang tuanya punya usaha toko roti disana...

Karena hujan lebat sekali, kami sempat berhenti ngaso di pinggir alun-alun kota, sebelum kembali meneruskan perjalanan ke Wonosobo. Dari Temanggung ke Wonosobo, tanya orang saat kami berhenti makan siang di warung makan murah meriah yang serba ada (karena menunya banyak sekali, sayang kami lupa dan tidak mencatat nama warungnya, letaknya disebelah kiri, tidak jauh saat baru memasuki jalan raya menuju Wonosobo), lama perjalanan sekitar 1,5 jam katanya...wah gak bisa ngejar langsung ke Dieng dong kalau begitu...karena saat itu sekitar jam 1:30 siang, bisa terlalu sore dan kabut turun di jalan menuju Dieng.
Yah, kecepatan agak dipacu lebih ngebut lagi supaya target sampai Dieng bisa tercapai hari itu juga, kemudian turun dan cari penginapan di Wonosobo. Ternyata gak sampai 1 jam, kami sudah sampai dikota Wonosobo. Jadi, orang yang kami tanya waktu diwarung itu mungkin panduannya adalah kalau naik kendaraan umum ke sana.
Saya sendiri punya pengalaman kalau tanya jarak perjalanan ke orang gunung begini; kalau kita jalan kaki dan bertanya ke mereka masih berapa lama lagi waktu perjalanan ke tujuan kita, mereka akan menjawab "ah gak jauh lagi kok...", padahal itu harus berjalan kaki kebalik gunung yang lain yang ada didepan kita, capeek deh... jadi kita harus berasumsi 2x lipat statement mereka biar aman, hehe...
Sebelum memasuki kota Wonosobo, di daerah Kledung Pass, saya lihat ada hotel yang berdiri persis berhadapan dengan Gunung Sumbing, dan dibelakangnya adalah Gunung Sindoro, tanpa ada hambatan pemandangan yang lainnya. Saya langsung kepincut untuk menginap disana, dan kelak akhirnya kesampaian, walaupun saat itu saya tetap injak gas tanpa berhenti.
Oya, perjalanan menuju kota Wonosobo itu sendiri sangat menarik. Pemandangannya sungguh luar biasa untuk orang kota seperti kami ini. Gunung Sumbing disebelah kiri dan Gunung Sindoro disebelah kanan berdiri tegap dengan gagahnya, besaaar sekali. Setelah hujan lebat di Temanggung, di Wonosobo justru cuaca sangat cerah. Langit sangat biru dan bersih. Pemandangan ke gunung sangat jelas dan detil kelihatan sampai ke jejeran pohon-pohon cemaranya. Luar biasa sekali. Anak-anak sangat takjub...baru kali ini mereka melihat gunung yang sedemikian besar didepan mata, ada 2 sekaligus seperti gunung kembarnya cewek-cewek...
Jalan meliuk-liuk, kadang seakan-akan menuju kearah Gunung Sumbing, kadang seperti menuju Gunung Sindoro. Mobil terus mendaki dan mendaki tiada henti...sepertinya memang seolah-olah sedang menuju puncak salah satu gunung tersebut, mungkin itu yang ada dipikiran anak-anak.
Saya minta mereka pilih, kita mau kepuncak gunung yang mana...?
Lama tak ada jawaban, tak percaya bahwa saya betul-betul sedang membawa kendaraan sampai menuju puncaknya. Melihat gunung besar yang begitu real saja, mereka sudah sangat takjub...

Akhirnya kota Wonosobo terlewati dan kami terus menuju ke pegunungan Dieng. Jalan menuju ke pegunungan Dieng juga tak jauh berbeda dari perjalanan tadi, malah yang ini lebih ekstrim lagi. Slope kemiringan mobil lebih besar, menanjak ekstrim sampai mobil cuma bisa berjalan pelan di gear-1. Pemandangannya pun tak kalah kualitasnya. Walaupun di sana sudah tidak terlihat lagi kedua gunung kembar tersebut, tapi jalan yang meliuk-liuk di perbukitan menjadikannya seperti terasering. Kita bisa melihat satu perkampungan dibawah sana sekaligus dengan petak-petak ladang tanaman penduduknya. Belum lagi sensasi awan seolah-olah berada dibawah kita, wah pokoknya luar biasa deh, kita seperti berada diatas langit... anak-anak sangat menikmati perjalanan itu, walaupun sambil mengantuk karena saya buka kaca mobil sehingga udara sejuk pegunungan masuk menghembus pori-pori kita. Saya sendiri tetap terjaga dan konsentrasi penuh karena jalan yang meliuk-liuk saat mengemudi membuat saya menjadi tidak mengantuk.
Sampai di kawasan lembah Dieng, digerbang masuk ditarik retribusi parkir kendaraan Rp 2rb. Nanti kalau mau masuk spot-spot wisatanya ya harus bayar lagi. Kami gak masuk ke satupun area wisatanya (ada beberapa kawasan candi, kawah sikidang, kawah candradimuka, telaga warna, Dieng Plateau teater, dll), kami cuma mutar mengikuti jalan melingkari kawasan Dieng Plateau itu ( http://www.diengplateau.com/ ). Berhenti sebentar dilapangan bola dekat kawasan candi, menonton permainan bola anak-anak gunung, sudah itu, ya langsung balik cari hotel tadi dijalan menuju Wonosobo di daerah Kledung pass.
Jalan menuju pulang ke Wonosobo sekitar pukul 5 sore sudah berkabut tebal. Jalan yang meliuk-liuk seperti ular yang terlihat jelas waktu datang tadi, sekarang sama sekali gak kelihatan. Jadi, santai aja lah, kurangi kecepatan, harus ekstra hati-hati karena medan menurun tajam dan kabut sangat tebal.
Sekitar 1 jam berkendara, akhirnya kami sampai juga di hotel itu, Hotel Parai Dieng Kledung Pass ( http://www.eljohn.co.id/ ). Ratenya Rp 250 rb semalam. Mahal juga ya...coba-coba dulu deh cari penginapan disekitar situ yang lebih murah, kamipun maju lagi sekitar 3 km menyusuri jalan Kledung Pass, tapi gak ada lagi penginapan lainnya, sepertinya...atau karena hari sudah gelap jadi gak kelihatan. Ya udah, balik ke hotel Parai Dieng lagi lah. Check in, mandi, makan malam direstorannya, trus tidur.
Kamar hotelnya gak pakai AC tapi sudah dingiiin banget seperti berada didalam kulkas, ada TV dan bathtub air panas. Tapi yang paling berkesan adalah waktu bangun paginya, gunung Sindoro tepat dihadapan balkon kamar kami, besaaar, jelas sekali karena cuaca cerah, tanpa halangan pandangan apapun. Muantaap!

Yang ini gunung Sumbing.
Foto diambil gak jauh setelah masuk jalan raya Wonosobo.

Kawasan Dieng Plateau sore hari.

Gunung Sindoro, pemandangan dari kamar hotel Parai Dieng Kledung Pass. Satu sisinya menghadap Gunung Sindoro, sisi sebelahnya menghadap Gunung Sumbing.

Paginya, setelah sarapan, kami langsung putar-putar dikawasan Kledung Pass. Bawa kendaraan memasuki salah satu gerbang desa yang sepertinya ada jalan sampai ke bukit di kaki gunung Sumbing. Masuk aja terus melewati perkampungannya (menjadi tontonan orang sekampung), sampai ke ladang perkebunan dilereng gunung Sumbing itu. Pemandangan dari sini ke arah gunung Sindoro sangat luar biasa, sayang sekali kabut atau awan sudah menyelimuti puncaknya. Jadi kalau mau melihat pemandangan di pegunungan sebaiknya sebelum jam 8 pagi karena terik matahari masih belum mengangkat butiran embun menjadi kabut sehingga menutupi puncaknya. Kami duduk-duduk saja sambil menikmati view disitu, gerogotin cemilan, hiking menyusuri jalan, n' juga ngobrol ngalor-ngidul dengan para petani. Rasanya fresh juga...beda sekali dengan suasana sekitar puncak-Bogor atau bandung. Disini jauh lebih asyik lah pokoknya...




Ibu-ibu ini setelah masak dan beres-beres rumah, sekitar jam 6 pagi naik ke gunung mencari kayu bakar. Sekitar jam 10:15 ketemu saya saat mengaso dijalan setapak menuju kerumahnya. Berarti kegiatan mencari kayu bakar itu makan waktu sekitar 4~5 jam ya?! Itu katanya dilakukan setiap hari lho...! Luar biasa.



Suasana disatu desa dikawasan Kledung Pass. Banyak tanaman tembakaunya.

Kami check out dari hotel Parai Dieng sekitar jam 12 siang, kemudian melanjutkan perjalanan ke arah Magelang, menuju Borobudur. Sekitar 1.5 jam perjalanan, sudah memasuki kota Magelang. Baru memasuki kota, sudah disuguhi kuliner bebek sambal kosek. Ada beberapa restoran bebek sambal kosek yang berdekatan, yang pertama kelihatannya terlalu ramai, kami skip saja. Akhirnya berhenti di warung bebek "Mbok Bodrow" didepan rumah sakit jiwa Magelang. Hmm, sambal koseknya luar biasa, hampir satu minggu masih terasa di lidah, hehe...

Selesai makan, keliling Magelang dulu lihat-lihat kotanya. Dulu, waktu SMA saya juga pernah kesini (bukan disaat saya avonturir yang 10 hari itu...), saya pernah menginap di jalan Jagoan, seberangnya lapangan Tidar - AKMIL. Wah, sekarang suasananya sudah banyak berubah...
Dari Magelang menuju Borobudur, perjalanan agak macet karena ada perbaikan jalan raya Magelang - Jogja. Memasuki kawasan Borobudur, kok banyak pemuda-pemuda kampung yang mengarahkan kendaraan pengunjung ke kawasan pemukiman mereka. Saya tanya, katanya parkiran Borobudur penuh dan macet. Banyak bus-bus luar kota. Ya udah, belok aja masuk ke pemukiman itu sekaligus pengen tahu seperti apa sih jadinya ini?
Ternyata memang sudah banyak sekali mobil-mobil yang diparkir disitu. Bayar parkir Rp 7 rb, kami jalan kaki melewati sawah dan pekuburan, gak jauh lah, sudah sampai di gerbang parkir kawasan candi Borobudur. Memang sedang luar biasa padatnya hari itu. Orang-orang entah dari mana asalnya, menyemut dimana-mana...huh, pengen disemprot baygon aja rasanya :-(
Masuk Borobudur, entrance fee Rp 17.500,- perorangnya. Cuaca gak begitu ramah, mendung dan sempat juga turun gerimis hujan. Para ABG bersenda gurau, berfoto, dan bermain dipunggung candi Borobudur itu dengan mendaki-daki stupanya. Seringkali terdengar dari pengeras suara agar pengunjung turun dan jangan menaiki stupa. Tapi pengunjung tetap saja haha...hehe...disitu dengan cueknya. Mungkin saking terlalu banyaknya orang yang naik jadi sulit terkendali. Sampah dimana-mana, jadi gak enjoy lah...
Kasihan sekali candi Borobudur yang sudah tua itu.

Dari parkiran dipemukiman (kapling Janan) menuju Borobudur melewati sawah ini.

Candi Borobudur.




Sebelum pulang, sempat masuk ke museum Borobudur lihat-lihat koleksi foto dan arca-arca yang berserakan dihalamannya. Ternyata candi itu sebelum dipugar oleh Belanda th 1907~1911 kondisinya sangat menyedihkan, reot, sepertinya mau ambruk. Tapi hebatnya bisa direstorasi sampai kondisinya saat ini.
Menjelang senja, kami sudah dijalan menuju Jogja. Langsung ke jl. Prawirotaman, kampung turis gak jauh dari benteng keraton. Dari ujung jalan satu persatu penginapan kami tanyai. Ya begitulah, guest house pada penuh. Yang tersisa adalah yang sangat sederhana juga sebaliknya yang termahal. Yang sangat sederhanapun pasang harga gila-gilaan, lebih mahal dari Ali's Nest di Singapore, tapi kondisinya jauh lebih parah, gimana ini..?!
Akhirnya kami pilih penginapan Wisma Gajah yang ternyata ada akses tembus ke Century guest house dibelakangnya. Ratenya 200 rb, ada AC dan pakai bathtub dengan hot water, tapi gak ada TVnya. Kalau mau kamar yang pakai TV, harus tambah 50rb lagi.
Suasana di penginapan ini cukup tenang, bersih, dan asri. Ada kolam renangnya juga, tapi yang paling dangkal 1 meter, gak bisa buat anak-anak. Saya sih sama si Lukas berendam aja disitu malam-malam mendinginkan badan di udara Jogja yang cukup panas. Berpunggungan dengan Wisma Gajah, adalah Century Guest House. Ada pintu masuk dari Wisma ke Century. Suasana penginapan Century jauh lebih klasik, juga lebih asri tapi gak ada kolam renangnya.
Untuk rate 200 rb di peak season seperti ini, Wisma Gajah sangat recommended-lah, oya, itu sudah termasuk breakfastnya juga ya.
Cuma ada satu pengalaman kami disini; waktu pulang Mami Lukas ketinggalan jaket/sweaternya dan baru teringat saat terbang di pesawat menuju Jakarta. Sampai di Jakarta, kami telepon kesana tapi katanya tidak ada barang yang tertinggal. Karena merasa yakin tertinggal disana, kami ngotot supaya jaket itu dicari (juga karena merasa dongkol, kok dibilang gak ada barang yang tertinggal...). Setelah beberapa kali menelepon, juga sambil mengancam akan menulis hal ini disurat pembaca koran-koran ibu kota, akhirnya pegawai yang bertugas saat itu dikumpulkan dan diinterogasi. Eh bener, besoknya jaket itu tiba-tiba ada yang menemukan, tetapi sudah tidak berada dikamar yang kami tempati sebelumnya. Gimana itu...?!
Tapi memang sepertinya sudah menjadi culture orang Indonesia yang begitu itu. Butuh waktu berabad-abad memperbaikinya. Mungkin di hotel berbintangpun hal ini bisa juga terjadi. Jadi sebaiknya dari kita sendiri yang jangan teledor...
Saya pernah melihat sendiri orang yang merogoh kantong celananya untuk mengambil sesuatu dan kemudian uang kertasnya terjatuh dijalan. Orang yang berada dibelakangnya langsung memungut uang tersebut dan mengklaim sah menjadi miliknya tanpa memberitahukan ke yang empunya. Parah...!
Waktu saya ke Jepang, seorang teman pernah tertinggal handphone.nya di penginapan. Sesampai di Indonesia, dia email hal itu, dan handphone.nya bisa kembali dengan selamat tanpa banyak cing-cong. Ya, begitulah...

Swimming pool Wisma Gajah.

Ada bandstand.nya juga lho...


Ini Century Guest House, pemiliknya sama dengan Wisma Gajah, jadi bisa bebas dan ada akses diantara kedua penginapan itu. Dengar-dengar tanah dan bangunan antik ini dibeli oleh pemilik Wisma Gajah gak berapa lama setelah krismon seharga kurang dari Rp 200 jt dengan luas tanah lebih dari 2000 meter. Wah, murah beneeer...

Besok paginya, ada waktu sekitar 4 jam untuk round-round dan hunting foto di sekitar Tamansari sebelum pulang ke Jakarta. Nawar tukang becak, dapat 2 becak masing-masing 10 rb, dari jl. Prawirotaman ke Tamansari dan ditawari putar-putar cari batik, juga beli oleh-oleh gudeg di jl. Wijilan (belakangan saya tambahin aja masing-masing 5 rb, karena tukang becaknya sudah bersabar nungguin kami sightseeing di Tamansari juga shopping batik dan gudeg).
Sampai di Tamansari jam 8 pagi, masih sepi. Jogja sepertinya lambat sekali nadinya berdenyut. Ya sudah, lihat-lihat toko lukisan batik yang sudah buka aja dulu sambil jalan-jalan menikmati suasana gang di kampung Tamansari itu. Eh, sekonyong-konyong ada pemuda kampung yang ngajak ngobrol-ngobrol dan "masuk" ke kami jadi guide selama disana. Dia cerita panjang lebar mengenai sejarah Tamansari, dan bangunan-bangunan apa saja yang ada disana. Ternyata pemukiman penduduk disana yang sebagian besar adalah para abdi dalem keraton dan keturunannya rencananya akan dibongkar, dan Tamansari akan dipugar mendekati kondisi awalnya dulu. Yang sudah berjalan adalah sudah dibongkarnya pasar burung Ngasem yang berada dikawasan itu.
Kami dibawa keliling oleh guide itu kesemua situs di Tamansari kecuali ke bagunan utamanya yang ada kolam, karena itu harus masuk dari depan dan bayar karcis. Belakangan saya ijin ke dia masuk sebentar untuk sedikit ambil foto saja didalam, hehe...masuk dari pintu belakang gak bayar. Bukan apa-apa, kalau dari pintu depan harus jalan lagi memutar dan kami sudah gak punya waktu lagi karena harus balik kehotel dan pulang ke Jakarta.

Bangunan tempat semedi sultan.

Ini tempat tidur sultan dulu saat beristirahat sejenak dari semedinya.




Rumah penduduk di kawasan Tamansari.



Istana air Tamansari

Lukas dan emaknya naik becak.







Selesai dari Tamansari, naik becak lanjut ke jl. Wijilan, beli gudeg. Disitu memang tempatnya para gudegers dan para penjual gudeg. Langganan kami adalah gudeg "Yu Jum". Dia yang termurah dan rasanya cukup enak, paket gudeg besekan 1/2 ayam dan telur 10 butir, Rp 130 rb sementara di toko lain yang kami tanya harganya 160 rb-an malah ada yang 175 rb. Ada juga paket yang dipacking pakai kendil tanah liat, harganya sama saja. Waktu itu kendilnya lagi habis, jadi apa boleh buat pakai besek lah..
Selesai beli gudeg, kami mbecak lagi cari batik disekitar hotel, lurusan jalan Prawirotaman, yaitu jl. Tirtodipuran, belok gangnya sedikit, di jl. Mantrijeron ada Batik Seno. Kami kalau ke Jogja biasa kesitu karena tempatnya lebih sepi, dan bisa ditawar habis gak pakai malu... pokoknya bikin malu aja (30 % dari harga penawaran). Jadi-jadinya paling sekitar 50~60 % dari harga bukanya tadi. Hehe...
Oya, sebelum ke batik Seno, sight seeing aja dulu ke toko batik yang lebih besar di jalan Tirtodipuran untuk cek harga dan hunting foto di pabriknya (biasanya ada di belakang toko). Di batik Seno juga ada para pembatiknya yang lagi bekerja, dan boleh difoto, tapi kebanyakan disini untuk pembuatan lukisan-lukisan batik.



Selesai beli batik, langsung balik ke Wisma gajah, packing, dan check out. Sebelumnya pesen taksi di resepsionis, karena mobil sewaan sudah dibalikin malam sebelumnya supaya menghindari over charge kelebihan jamnya, karena kita memang sudah gak berniat pakai lagi, pengen naik becak aja...
Ternyata taksinya sudah dipatok Rp 60 rb sampai ke bandara, padahal kalau pakai argo mungkin gak sampai 40 rb-an. Yah, berkomplot dengan resepsionisnya lah, bagi-bagi rejeki. Sebetulnya gak perlu pesen sih, karena diluar Wisma Gajah banyak taksi berseliweran. Waktu itu saya nggee aja karena malas ribut, dan taksinya udah nungguin cukup lama sementara kami beres-beres...
Oya, selama naik becak round-round itu, saya ngobrol dengan tukang becaknya, Mas Mendung. Saya minta dicariken sepeda/onthel lawas dikampungnya didaerah bantul. Kami tuker-tukeran no. telepon dan SMS-SMSan selama seminggu. Seminggu kemudian, saya berangkat lagi sendirian ke Jogja numpak bus dan spoor jemput onthel lawas itu. Dapet 2, yang cewek 1, yang cowok 1. Nanti deh saya ceritain dan pasangin foto-fotonya di upload-an berikutnya aja ya...