Wednesday, December 30, 2009

Kiat Menembus Barikade Pasar

Peluang Bisnis Ketika diminta pemimpinnya membuka pasar produk Indonesia di India, Thomas William sempat berpikir keras. Strategi pasar apa yang dapat ia terapkan untuk menembus pasar negeri sangat kaya manusia itu? Formula yang ia gunakan ketika menyelusup ke pasar Filipina empat tahun terakhir tentu tidak bisa diaplikasikan di India. Karakter pasar Filipina berbeda dibandingkan dengan India.

Ketika datang ke Chennai, kota di pantai timur bagian selatan India, Thomas (31) dan teman-temannya dari Grup Mayora mendapatkan jurusnya. Berbisnis di India harus ekstra lugas, uang diterima di depan, dan dalam melakukan transaksi bisnis harus sangat detail. Menggaet mitra harus ekstra selektif, ibarat mencari istri. Salah pilih sungguh repot urusannya.

Thomas yang ditugaskan memasarkan produk permen Kopiko, Choki-choki, dan Kukis Mayora mempelajari karakter pasar dan kebiasaan masyarakat India. Ia melihat masyarakat di India lebih banyak minum teh dibanding kopi, sementara masyarakat di selatan lebih banyak menyeruput kopi. Maka ia memutuskan menjual permen Kopiko di negara bagian Tamil Nadu sebagai pasar utama di selatan India. Lalu Chennai, salah satu kota besar India dengan penduduk 8 juta jiwa, ia pilih sebagai markasnya.

Thomas menyiapkan segala sesuatunya dengan matang. Ia merekrut wiraniaga, agen, staf, dan mitra di lapangan secara hati-hati. Ia pun aktif beriklan, sambil masuk-keluar rumah masyarakat India memperkenalkan produknya. Ia juga kerap datang sendiri ke sekolah-sekolah India untuk memperkenalkan produknya.

”Serius, tidak mudah masuk pasar India, sebab masyarakat di sini sangat cinta produk dalam negeri,” ujar Thomas di Chennai baru-baru ini. Tetapi, pria berambut pendek asal Pontianak ini kemudian menuturkan, warga India pada dasarnya intelek sehingga bisa diajak bicara dengan pikiran jernih. Mereka kemudian bisa menerima produk Kopiko, yang memang rasa kopi.

Lalu bagaimana agar produk itu terjangkau publik India? Apa resepnya meluncurkan produk Kopiko hingga kuat bersaing dengan produk lokal? Seperti diketahui, secara teori produk lokal mestinya lebih murah karena tidak dikenai pajak impor, dan tanpa biaya transportasi antarnegara. Thomas menuturkan, Kopiko dibuat sedikit lebih besar dibanding permen biasa sehingga pantas saja kalau harganya sedikit lebih mahal.

Akhirnya, dengan pelbagai upaya itu, Kopiko diterima luas pasar India. Omzet Kopiko sudah miliaran rupiah per bulan. Tugas Thomas kini ialah memassalkan produk ini sehingga dalam tiga tahun mendatang Kopiko sudah beromzet di atas Rp 10 miliar. Di luar Kopiko, Thomas juga memasarkan Kukis Danisa dan sejumlah makanan kecil.

Selain Mayora, banyak grup usaha Indonesia yang sudah masuk India. Produk-produk Indofood, Maspion, Kacang Garuda (Grup Tudung), Bintang Todjoe, Gajah Tunggal, aneka jenis biskuit, peralatan rumah tangga, kain batik, sepatu, farmasi, dan sebagainya mudah ditemukan di pasar-pasar India. Kacang Garuda, misalnya, yang memiliki banyak varian produk kacang, permen, enting dan wafer, praktis relatif mudah ditemukan di hampir semua mal di belahan selatan India.

Pasar luar biasa
Cerita tentang kiprah Thomas, Mayora, Indofood, Kacang Garuda, Bintang Todjoe, dan sebagainya ditulis di sini untuk menginspirasi produsen lain di Indonesia agar segera memasuki pasar luar negeri, termasuk India. Para produsen atau industriwan Indonesia patut mempertimbangkan memasuki pasar-pasar tertentu, di antaranya India, China, Rusia, dan Brasil.

Selama ini pengusaha Indonesia terlampau terpaku pada pasar Eropa, Jepang, serta Amerika Serikat. Padahal, kalau Indonesia menguasai pasar India dan China yang notabene sangat berkilau, dampaknya pasti luar biasa. Sebab, itu berarti Indonesia sudah mendominasi pasar yang penduduknya mencapai hampir setengah penduduk dunia.

Sebutlah Indonesia ”hanya memasarkan permen”, tetapi kalau permen itu dikonsumsi beberapa miliar penduduk dunia, bukankah itu amat luar biasa? Dampaknya akan jauh lebih hebat kalau usahawan Indonesia mengekspor komoditas dengan harga lebih mahal dan sifatnya massal. Atau, seperti disampaikan Direktur Pusat Promosi dan Perdagangan Republik Indonesia (ITPC) di Chennai, Aksamil Khair, sebaiknya usahawan besar Indonesia ”menyerbu” pasar India. Negara ini tengah bangkit ekonominya. Pertumbuhan ekonominya tertinggi kedua di dunia setelah China. Praktis India kini gadis rupawan dan wangi yang menjadi rebutan banyak pemuda tampan.

Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur India, menurut pengamatan di lapangan sangat hebat, sebab negeri berpenduduk 1,2 miliar jiwa itu tengah membutuhkan puluhan ribu kilometer jalan baru, jembatan lebih panjang dan lebih lebar, jalan layang, dan jaringan kereta api. Pengusaha Indonesia pasti akan sukses dengan jalan tol sebab jalan tol di India, begitu pula jalan layangnya, maaf saja, terkesan di bawah mutu jalan tol dan jalan layang Indonesia.

Para pengusaha properti juga tak ada salahnya kalau berbisnis di India. Negara ini memerlukan jutaan rumah per tahun. Kalau pengusaha Indonesia mampu mengambil satu persen saja dari kebutuhan India, sudah sangat luar biasa. Dan, ini baru urusan rumah hunian, belum termasuk apartemen, perkantoran, mal, dan sebagainya. Para pengusaha semen Indonesia dapat pula memasok produknya ke negara yang tengah mati-matian membangun ini.

Cerdas dan hati-hati
Akan tetapi, di balik gemerlap bisnis di India, dan terlepas dari sangat luasnya peluang bisnis di sana, terdapat hal yang perlu digarisbawahi, yakni para usahawan harus ”cerdas, cermat, dan amat teliti”. Orang-orang India dikenal sebagai ”orang- orang amat cerdik, lihai, dan susah diduga”. Maka untuk lancarnya bisnis, usahawan Indonesia harus membahas semua deal sampai amat detail.

Semua kriteria yang disepakati harus transparan. Mana yang boleh dan mana yang tidak boleh harus konkret. Kalau tidak hati-hati, Anda siap-siap ke laut. Kalau bisa, usahakan ada dalam deal konkret bahwa pembayaran dilakukan dengan tunai.

”Kalau pembayaran dengan kredit, Anda jebol,” ujar Thomas Wiliam, yang selalu menggunakan instrumen tunai dalam menjalankan bisnisnya di India. Thomas memilih lebih baik tidak menjual produknya daripada harus dengan kredit. Aspek lain, usahakan ada orang lokal yang membantu bisnis Anda. Pilihan pada orang lokal pun harus melalui seleksi luar biasa ketat dan semacam “ujian” yang berlapis.

Pentingnya kehati-hatian karena perangai sejumlah orang India memang unik. Kalau transaksi tidak benar-benar bersih, biasanya disertai penyesalan. Contoh ringan bisa seperti ini. Dua turis Asia naik bajaj, hendak menuju GVK One Mall, mal papan atas di Chennai. Dalam tawar-menawar yang sangat jelas, dan bahkan menggunakan jasa staf hotel tempat turis itu menginap, disepakati tarifnya 100 rupee. Karena sudah sangat jelas, turis tersebut naik bajaj itu sambil tertawa.

Dalam perjalanan, tiba-tiba si tukang bajaj berhenti di tepi jalan. Ia menyatakan, perjalanan ke GVK lebih jauh dari perkiraannya. Ia meminta tambahan bayaran, bukan 100 rupee, melainkan 200 rupee. Dua turis Asia itu tentu saja keberatan. Mereka kemudian terlibat adu mulut, tetapi karena enggan ribut, kedua turis mengiyakan 200 rupee.

Akan tetapi, apa lacur? Tatkala tiba di GVK One Mall, sopir bajaj minta 400 rupee. Kedua turis itu jelas naik pitam. Mereka berkeras hanya mau bayar 200 rupee. Si sopir berkeras harus bayar 400 rupee.

”Baiklah, kenapa harus 400 rupee?” tanya seorang di antara turis itu, yang tubuhnya buncit. ”Ya, karena masing-masing penumpang harus membayar 200 rupee. Di bajaj saya, tiap penumpang harus bayar,” ujar sopir bajaj itu dengan kalem.
Ucapan sopir itu memang seenaknya, tetapi bagaimana melawannya? Akhirnya kedua turis Asia itu tidak hirau lagi. Ia menggeletakkan uang 200 rupee di jok bajaj dan ngeloyor pergi dari situ. Sopir bajaj berteriak- teriak, tetapi keduanya tak peduli dan langsung masuk mal. Seorang di antara mereka berkata, ”Orang di sini memang unik.”

Sumber: KOMPAS, 29 Desember 2009

No comments: