KYOTO masih seperti dulu, saya bergumam dalam hati ketika menapak tilas perjalanan saya kembali ke kota kebudayaan di negeri Matahari Terbit. Gedung kuno dengan ornamen yang sarat imaji kontemporer seperti kuil Higashi Honganji, Sanjusangendo, Kiyomizu, dan Ryoanji, berpadu dengan bangunan berarsitektur modern berlatar belakang perbukitan yang indah, terbentang di hadapan saya. Bau sake kelezatan tempura, sukiyaki, dan yakitori yang khas seperti menusuk hidung saya. Melempar saya kembali pada kenangan lima tahun silam….
*****
Saat salju turun bagai gumpalan kapas menyelimuti kota itu. Saya memandanginya penuh takjub dari jendela kamar di salah satu suite apartemen di pusat kota Kyoto. Salju dimana-mana, di puncak bukit, di bubungan rumah hingga jalan, dan trotoar. Suatu pemandangan yang sangat langka terjadi di Indonesia. Disamping saya duduk Asako, gadis Jepang lulusan Harvard University yang jadi penerjemah dan pemandu saya selama mengikuti pelatihan di Jepang. Ia memandang saya dengan tatapan heran.
“Asako, salju itu indah!” saya bergumam pelan tanpa melepaskan pandangan ke luar.
Asako tertawa geli. Dengan penuh ingin tahu dia juga mengarahkan pandangan ke luar. Wangi parfum Shisuedonya memenuhi udara.
“Anda lucu, Taufiq-san. Bagi saya turunnya salju bukan sesuatu yang luar biasa,” katanya. Ia membalikkan badan dan berjalan mengambil minuman.
Saya tidak menanggapi kata-katanya.
“Anda mau sake, Taufiq-san ?” Asako menawarkan.
Saya mengangguk perlahan. Dengan langkah ringan Asako lalu datang membawa dua cangkir sake. Ia mengangsurkan sebuah cangkir berisi sake kepada saya.
“Dozo, Taufiq-san. Anda ingin kita kampai untuk siapa, atau…. Apa?” Asako bertanya, memamerkan senyumnya yang menawan.
“Arigato Gozaimasu, Asako-san. Begini saja, kita kampai untuk keindahan salju dan keindahan….. senyummu. Oke?” Saya menyarankan.
Pipi Asako memerah. Ia belum sempat menjawab ketika saya mengangkat cangkir sake sambil berseru, “ Kampai! Untuk salju yang indah dan Asako-san!”
Asako mengikuti dengan gugup. Kami meneguk sake bersama. Hanya sekali tegukan. Sesudah itu kami saling pandang, lama.
Paras Asako berbeda dengan wanita Jepang kebanyakan. Ia memiliki mata yang jernih, tidak terlalu sipit, dan kulit yang cenderung kecoklatan. Tapi, disitulah daya tariknya!
Saya belum terlalu lama mengenalnya. Selama 6 bulan waktu pelatihan keteknikan dan manajemen yang diselenggarakan oleh perusahaan tempat saya bekerja, Asako dan dua orang temannya ditugaskan sebagai penerjemah bahasa Jepang.
Berhubung diantara kami yang berjumlah 15 orang, tak seorangpun bisa berbahasa Jepang, sebaliknya tak seluruh pengajar kami dapat berbahasa inggris, apalagi bahasa Indonesia. Asako bertugas dua kali seminggu, bergantian dengan dua rekannya. Mereka menjadi ‘jembatan budaya’ kami dengan Jepang. Asako, yang juga bekerja pada bagian pemasaran perusahaan periklanan di Kyoto, termasuk gadis yang lincah dan supel. Dia berbeda dengan dua rekannya yang kaku. Dalam waktu sebulan saja, ia sudah akrab bersama kami, terutama pada saya. Kedekatan saya dengan Asako lebih dari sekedar hubungan antara guru dan murid.
Hubungan kami berkembang menjadi saling pengertian yang lebih jauh. Saya tidak tahu, apakah itu cinta atau tidak. Yang jelas Asako tidak menginginkan itu. Katanya suatu ketika, Taufiq-san, mohon anda paham. Saya berharap hubungan kita adalah persahabatan, tidak lebih. Saya tak ingin terluka. Anda bisa mengerti, bukan? Waktu itu saya tak bisa berkata apa-apa. Saya hanya mengangguk. Saya berusaha mengerti, bahwa ada tirai tipis yang menghalangi hubungan kami. Asako sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk tersebut lebih awal.
Kini, Asako ada dihadapan saya. Kami saling pandang. Ada getar-getar misterius mengalir dari kedua mata kami.
“Anda membuat saya jengah, Taufiq-san,” Asako tersipu,lalu menunduk malu.
Saya tertawa. “Sudahlah, mari kita cerita yang lain. Tentang salju, misalnya,” ujar saya mencairkan suasana. Asako tersenyum. Ia menawarkan sake lagi. Dan, kami minum bersama sambil duduk diatas tatami.
“Oh, ya! Tentang salju…. saya punya cerita tentang itu,” Asako memulai kisahnya. Matanya yang jernih berpijar. “ Saya lahir dikota Nagaokakyo, Tepat pada saat salju pertama turun setelah musim gugur 1970. Orang tua saya karyawan perusahaan elektronik terkemuka di Jepang. Saya anak perempuan pertama di keluarga saya. Kedua kakak saya lelaki. Saya mendapat perhatian dan kasih sayang yang lebih dibanding mereka.”
“Waktu kecil, setiap kali salju turun, Ayah selalu mengendong saya. Kami berdua memandang dari balik jendela yang buram, salju berjatuhan dari langit. Ayah selalu terpesona dengan pemandangan itu. Kadang ia duduk di kursi, memangku saya dan menatap kagum butir-butir salju tersebut sambil membelai kepala saya. ‘ Asako,Indah sekali salju itu. katanya. Kalimat itu senantiasa tergiang di telinga saya setiap kali saya melihat salju turun.” Asako terdiam sejenak lalu menerawang, mencoba menyeret kembali segala kenangan masa lalu.
“Beberapa tahun kemudian”, lanjut Asako, “setelah saya berhasil menamatkan kuliah di Harvard University, saya mendampingi ayah terbaring di rumah sakit. Pada saat itu, salju baru turun di depan rumah sakit tempat Ayah dirawat. Dengan penuh harap ia meminta saya membuka tirai jendela rumah sakit untuk melihat butiran salju turun dari balik kaca. Saya memenuhi keinginannya. Dan, malam itu dia meninggal dengan senyum menghias bibirnya,” tutur Asako mengakhiri kisahnya. Matanya berkaca-kaca.
“Cerita yang sangat menarik, Asako! Ternyata kau memiliki pengalaman dan kenangan mendalam tentang salju,” saya memandangnya terharu.
“Terutama kenangan pahit, Taufiq-san. Masuda, kekasih saya, menyatakan perpisahan kami pada saat musim salju pertama turun, bulan Desember tahun silam,” Asako tiba-tiba terisak. “Dengan ringannya Masuda berkata, ‘Asako, masih selalu ada salju yang turun setiap tahun.’ Kemudian dia pergi begitu saja, tanpa kabar apapun. Hingga kini….” Kata Asako lirih. Air matanya mulai berlinang.
Saya tidak tahan untuk tidak memeluknya. Saya lalu mengambil sapu tangan dan menyeka air matanya.
“Apakah saya terlalu cengeng dan sentimental, Taufiq-san?” Asako bertanya dengan bibir bergetar.
Saya tersenyum dan menjawab seraya menepuk pundaknya,”Asako, mengekspresikan kesedihan itu alamiah. Setiap orang, termasuk saya, pasti memiliki masa lalu yang pahit. Oke, kita tak usah bercerita tentang salju. Gantian, saya yang akan bercerita tentang kampung halaman saya.”
Asako mengangguk, matanya yang redup mulai berbinar. Sayapun bercerita tentang Indonesia, kampung halaman saya. Tentang keindahan masa kecil saya bermain bola di atas petak sawah yang mengering dengan telapak kaki telanjang. Mandi beramai – ramai di sungai, dan… sapi peliharaan saya, Panjul, yang akhirnya dijual Ayah ke Pak Paimin untuk membiayai sekolah saya ke kota.
Saya mengisahkan kesedihan saya ditinggalkan Panjul. Saya membayangkan dia dipotong, dicincang, dibuat soto daging dan satai. Asako tertawa geli melihat ekspresi wajah saya ketika memamerkan gaya tukang daging dengan wajah dingin sedang mencincang si Panjul.
Saya mengakhiri kisah saya sambil memandang Asako yang tersenyum. Dalam keredupan lampu, saya melihat wajahnya bersinar cantik sekali. Malam semakin larut. Saya pamit pulang ke hotel saya yang letaknya tidak jauh dari suite apartemen Asako dengan berjalan kaki.
Saat mengenakan jaket, Asako tiba-tiba berdiri di hadapan saya, dekat sekali. Tatapannya misterius. “Taufiq-san, Arigato. Terima kasih,” katanya pelan. Ia lalu mencium pipi saya. Saya terperangah oleh kejutan yang tidak terduga itu .
“Oyasuminasai, Asako-san. See you tomorrow,” saya berkata kemudian berbalik pergi meninggalkan Asako yang masih berdiri terpaku di depan pintu apartemennya.
Sejak saat itu, hubungan saya dan Asako makin dekat. Asako selalu menemani saya mengunjungi daerah – daerah pariwisata terkenal di Kyoto. Kami pergi ke villa Kerajaan Katsura yang memiliki tata arsitektur etnik yang menarik. Termasuk perkampungan film Toei Uzumasa yang ditata apik bersuasana zaman feudal yang kental. Saya berusaha menjaga jarak dengan Asako .
Saya menghormati komitmen yang sudah ia berikan. Meskipun untuk itu saya harus memendam ketertarikan saya kepadanya dari hari ke hari. Pada saat saya terakhir berada di negara Sakura itu, kami berjalan berdua menyelusuri daerah Kawaramachi, salah satu pusat perbelanjaan terkenal di Kyoto. Kami lalu duduk di salah satu sudut restoran sembari menyantap tempura dan minum bir.
Kami memandangi orang yang lalu lalang dihadapan kami. Mereka seolah tak peduli musim dingin dengan timbunan salju yang menggumpal dimana-mana.
“Taufiq-san, rasanya….saya sudah jatuh cinta pada anda!” Asako tiba-tiba menyentak kesunyian di antara kami. Bibirnya bergetar mengucapkan kalimat itu.
“Asako, kau menganggap hal itu suatu kekeliruan?” Saya memandangnya tak berkedip, dan meletakkan kembali yakitori yang sudah saya ambil ke piring. Asako menghela nafas panjang.
“Bukan kekeliruan, Taufiq-san. Saya tak bisa mengingkari kata hati saya. Hubungan yang selama ini kita bangun telah menjelma menjadi suatu ikatan yang kuat, yang bagi saya telah memberikan nuansa tersendiri. Anda seorang pria yang memiliki kepribadian menarik, jujur, dan penuh semangat hidup. Mungkin hal itu yang membuat saya tak kuasa menahan perasaan saya, “ ucap Asako lirih, nyaris tak terdengar.
Saya terdiam, tak tahu harus berkata apa. Saya lalu melemparkan pandangan kepada orang-orang yang berseliweran di depan jendela restoran tempat kami berada.
“Anda tak perlu merasa bersalah, Taufiq-san. Saya sudah mengetahui bahwa inilah resiko hubungan kita. Saya tak menuntut apa-apa. Lagi pula, sejak awal pertemuan kita. Saya, sudah menandaskan bahwa saya tidak mau hubungan kita berkembang terlalu jauh. We’re just friend, Taufiq-san. Bila kemudian perasaan cinta semakin berkembang, anggaplah itu suatu intermezzo belaka, “Asako berkata dengan suara serak. Ia seolah memendam beban berat. Ditekurinya lantai restoran dengan menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Saya segera meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat. “Asako, saya sama sekali tidak mau menganggap hal itu suatu intermezzo atau lelucon. Walau kita dipisahkan oleh perbedaan, bagi saya cinta itu adalah bahasa yang universal. Saya tidak akan merasa bersalah jika memendam perasaan yang sama terhadapmu. Ini sesuatu yang wajar dan manusiawi. Apakah….. kita harus meninjau ulang komitmen kita, Asako?” saya bertanya penuh harap, dan menatap mata Asako yang jernih seperti jernihnya Danau Kurobe di Tomaya.
“Taufiq-san, Taufiq-san. Besok anda harus kembali ke Indonesia. Meninjau ulang komitmen yang telah kita sepakati rasanya sudah terlambat sekarang. Mengenal sosok anda , meski dalam waktu yang singkat, bagi saya merupakan suatu anugerah yang sangat berharga. Biarlah apa yang telah kita lalui bersama menjadi kenangan manis. Kita jalani saja hidup ini. Bukankah pada akhir musim gugur mendatang salju akan turun lagi?” ujar Asako ringan. Ia lalu tersenyum paling manis yang pernah saya lihat.
*****
Hari ini, awal Desember, ketika salju pertama kali turun, saya kembali ke Kyoto. Setelah 5 tahun meninggalkannya, masa lalu yang indah bersama Asako kembali membayang. Di manakah dia sekarang? Apakah ia telah menemukan salju baru-nya?.
Sejak saya kembali ke Indonesia, kami sering berkorespondensi lewat surat. Dalam suratnya ia sama sekali tidak menyinggung tentang hubungannya dengan pria lain. Asako sangat tertutup untuk hal itu. Tapi, hubungan kami hanya sempat berjalan dua tahun. Sejak saya menikah, hubungan kami terputus. Saya pernah mencoba menghubunginya beberapa kali, baik lewat surat maupun telepon, tetapi selalu tak ada jawaban.
Pada saat tiba di Kyoto, saya langsung mendatangi apartement di mana Asako dulu tinggal. Termasuk perusahaan periklanan tempat dia bekarja untuk mencari tahu di mana dia berada sekarang. Tapi, tak seorangpun memberi keterangan, membuat saya putus asa. Saya tidak tahu di mana Asako berada sekarang!
Saat ini saya berada di Kawaramachi. Saya berdiri di depan restoran di mana kami dulu makan siang, sehari sebelum kepulangan saya ke Indonesia. Saya tidak tahu, kekuatan magis apa yang telah menarik saya kemari. Meja dan kursi tempat kami duduk dulu tidak berubah. Suasana hiruk pikuk tempat perbelanjaan terlihat, meski udara agak dingin dan salju menyelimuti hampir seluruh pelosok kota.
Tiba-tiba saya merasa pundak saya di tepuk dari belakang. “Taufiq-san, kapan datang?”
Saya berbalik. Suara itu….Suara yang amat saya kenal. Seperti bergema dari jarak yang teramat jauh. Tapi, tidak! Asako berdiri di depan saya dengan wajah dan senyum yang nyaris tak berubah. Wangi parfumnya menyerbu akrab ke hidung saya.
Kami saling berpelukan melepas rindu. Setelah itu kami masuk ke restoran dan menempati meja dan kursi yang kami duduki dulu. Kami saling bertukar cerita. Saya menuturkan kegiatan saya, termasuk kelucuan putra saya, Rahmat. Si kecil itu hasil pernikahan saya dengan Sri, 3 tahun lalu. Asako lebih banyak diam dan memberi kepada saya kesempatan berbicara lebih banyak. Mata Asako terlihat lebih cekung, seolah menanggung beban kesedihan yang berat.
Keindahan dan kejernihan Danau Kurobe tak terlihat lagi di matanya. Saya merasa telah ada sesuatu yang tragis terjadi pada dirinya.
“Berbahagialah anda, Taufiq-san. Kehidupan perkawinan anda harmonis. Sayang, saya tak seberuntung anda,” kata Asako pelan. Ia seperti ingin mengungkapkan sesuatu yang sulit diutarakan.
“Ada apa, Asako-san? Katakanlah apa yang telah terjadi?”
“Saya berkenalan dan menikah dengan Tamura, salah seorang karyawan perusahaan sekuritas di Tokyo, 3 tahun silam. Setelah itu semuanya berubah. Saya ikut suami saya ke Tokyo. Ruang gerak saya mulai dibatasi. Saya hanya diberikan otoritas mendidik anak kami, Kimiko. Saya diminta berhenti dari pekerjaan saya dan hanya bekerja di rumah saja. Semua itu saya lakukan semata-mata untuk bakti saya kepada suami.”
“Tapi, yang terjadi kemudian sangat menyedihkan. Tamura menyeleweng dengan seorang gadis Geisha di kedai minum langganannya. Ia mulai jarang pulang ke rumah. Dan, yang paling menyakitkan, Tamura sering mabuk, bahkan memukuli saya tanpa sebab. Saya tidak tahan dan minta cerai. Saya lalu kembali ke Kyoto, membawa serta Kimiko. Saya baru tiba disini, 3 hari yang lalu. Sekarang, Saya tinggal di rumah kakak lelaki saya. Saya tidak tahu, mengapa nasib saya seburuk ini, Taufiq-san,” tutur Asako terbata-bata. Anehnya, ia tidak mengeluarkan air mata. Hanya wajahnya terlihat lebih tua dan layu. Ia kelihatan begitu menderita.
“Taufiq-san, saya tidak menyangka dapat bertemu dengan Anda kembali di sini. Anda masih ingat cerita saya tentang salju?” Asako memandang saya lekat-lekat.
“Ya, Asako, Bagaimana saya dapat melupakannya? Saat itu, di tempat kita berada sekarang, kau berkata, bukankah pada akhir musim gugur mendatang, salju baru akan turun lagi? Apakah bagimu kalimat itu berarti?”
“Sangat berarti, Taufiq-san. Kalimat itu saya ucapkan sebagai ekspresi kasih sayang saya kepadamu. Ketika saya berkenalan dan menikah dengan Tamura, saya menyangka telah menemukan ‘salju baru’ yang indah. Tapi ternyata, saya salah menafsirkan cinta Tamura. Dalam banyak hal, Anda memiliki kepribadian yang saya dambakan. Saya telah melewatkan kesempatan menikmati keindahan salju cinta anda. Itu suatu kekeliruan besar!” Ujar Asako sambil menundukkan wajahnya, menekuri lantai restoran.
“Asako-san,” saya mencoba menghibur hatinya, “ kehidupan berjalan begitu saja. Apa yang telah terjadi pada dirimu, pada saya, dan siapa pun juga, semua sudah di atur oleh-Nya. Kita hanya punya kehendak dan usaha. Selebihnya, Tuhan menentukan. Kamu tak perlu menyesalinya berlarut-larut. Hal itu justru membuat kau tenggelam pada kesedihan yang berkepanjangan. Pada saat ini, yang penting menata hati dan hari depan yang lebih baik. Jangan bermuram durja, Asako. Masih banyak orang yang mengasihimu. Ada Kimiko, saudara lelakimu, dan juga saya. Tak ada yang lebih berharga dari semua itu, bukan?”
Asako menatap saya lekat-lekat. Lalu, perlahan-lahan senyum manis terukir di wajahnya. Senyum yang begitu saya kenal. Dengan hangat ia kemudian mencium pipi saya.
“ Terima kasih, Taufiq-san,”bisiknya lirih di telinga saya. Matanya berbinar cerah.
Di luar salju mulai menebal. Gumpalannya bertebaran di mana-mana. Warnanya putih menyiratkan misteri yang tak terpecahkan. Sungguh suatu keindahan yang menakjubkan. Saya pun tahu pasti, saya telah memiliki keindahan yang sama. Nun jauh disana…di kampung halaman saya, pada mata teduh Sri, istri saya, dan binar ceria mata Rahmat, putra kesayangan saya.
Oleh Amril Taufiq Gobel
*****
Saat salju turun bagai gumpalan kapas menyelimuti kota itu. Saya memandanginya penuh takjub dari jendela kamar di salah satu suite apartemen di pusat kota Kyoto. Salju dimana-mana, di puncak bukit, di bubungan rumah hingga jalan, dan trotoar. Suatu pemandangan yang sangat langka terjadi di Indonesia. Disamping saya duduk Asako, gadis Jepang lulusan Harvard University yang jadi penerjemah dan pemandu saya selama mengikuti pelatihan di Jepang. Ia memandang saya dengan tatapan heran.
“Asako, salju itu indah!” saya bergumam pelan tanpa melepaskan pandangan ke luar.
Asako tertawa geli. Dengan penuh ingin tahu dia juga mengarahkan pandangan ke luar. Wangi parfum Shisuedonya memenuhi udara.
“Anda lucu, Taufiq-san. Bagi saya turunnya salju bukan sesuatu yang luar biasa,” katanya. Ia membalikkan badan dan berjalan mengambil minuman.
Saya tidak menanggapi kata-katanya.
“Anda mau sake, Taufiq-san ?” Asako menawarkan.
Saya mengangguk perlahan. Dengan langkah ringan Asako lalu datang membawa dua cangkir sake. Ia mengangsurkan sebuah cangkir berisi sake kepada saya.
“Dozo, Taufiq-san. Anda ingin kita kampai untuk siapa, atau…. Apa?” Asako bertanya, memamerkan senyumnya yang menawan.
“Arigato Gozaimasu, Asako-san. Begini saja, kita kampai untuk keindahan salju dan keindahan….. senyummu. Oke?” Saya menyarankan.
Pipi Asako memerah. Ia belum sempat menjawab ketika saya mengangkat cangkir sake sambil berseru, “ Kampai! Untuk salju yang indah dan Asako-san!”
Asako mengikuti dengan gugup. Kami meneguk sake bersama. Hanya sekali tegukan. Sesudah itu kami saling pandang, lama.
Paras Asako berbeda dengan wanita Jepang kebanyakan. Ia memiliki mata yang jernih, tidak terlalu sipit, dan kulit yang cenderung kecoklatan. Tapi, disitulah daya tariknya!
Saya belum terlalu lama mengenalnya. Selama 6 bulan waktu pelatihan keteknikan dan manajemen yang diselenggarakan oleh perusahaan tempat saya bekerja, Asako dan dua orang temannya ditugaskan sebagai penerjemah bahasa Jepang.
Berhubung diantara kami yang berjumlah 15 orang, tak seorangpun bisa berbahasa Jepang, sebaliknya tak seluruh pengajar kami dapat berbahasa inggris, apalagi bahasa Indonesia. Asako bertugas dua kali seminggu, bergantian dengan dua rekannya. Mereka menjadi ‘jembatan budaya’ kami dengan Jepang. Asako, yang juga bekerja pada bagian pemasaran perusahaan periklanan di Kyoto, termasuk gadis yang lincah dan supel. Dia berbeda dengan dua rekannya yang kaku. Dalam waktu sebulan saja, ia sudah akrab bersama kami, terutama pada saya. Kedekatan saya dengan Asako lebih dari sekedar hubungan antara guru dan murid.
Hubungan kami berkembang menjadi saling pengertian yang lebih jauh. Saya tidak tahu, apakah itu cinta atau tidak. Yang jelas Asako tidak menginginkan itu. Katanya suatu ketika, Taufiq-san, mohon anda paham. Saya berharap hubungan kita adalah persahabatan, tidak lebih. Saya tak ingin terluka. Anda bisa mengerti, bukan? Waktu itu saya tak bisa berkata apa-apa. Saya hanya mengangguk. Saya berusaha mengerti, bahwa ada tirai tipis yang menghalangi hubungan kami. Asako sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk tersebut lebih awal.
Kini, Asako ada dihadapan saya. Kami saling pandang. Ada getar-getar misterius mengalir dari kedua mata kami.
“Anda membuat saya jengah, Taufiq-san,” Asako tersipu,lalu menunduk malu.
Saya tertawa. “Sudahlah, mari kita cerita yang lain. Tentang salju, misalnya,” ujar saya mencairkan suasana. Asako tersenyum. Ia menawarkan sake lagi. Dan, kami minum bersama sambil duduk diatas tatami.
“Oh, ya! Tentang salju…. saya punya cerita tentang itu,” Asako memulai kisahnya. Matanya yang jernih berpijar. “ Saya lahir dikota Nagaokakyo, Tepat pada saat salju pertama turun setelah musim gugur 1970. Orang tua saya karyawan perusahaan elektronik terkemuka di Jepang. Saya anak perempuan pertama di keluarga saya. Kedua kakak saya lelaki. Saya mendapat perhatian dan kasih sayang yang lebih dibanding mereka.”
“Waktu kecil, setiap kali salju turun, Ayah selalu mengendong saya. Kami berdua memandang dari balik jendela yang buram, salju berjatuhan dari langit. Ayah selalu terpesona dengan pemandangan itu. Kadang ia duduk di kursi, memangku saya dan menatap kagum butir-butir salju tersebut sambil membelai kepala saya. ‘ Asako,Indah sekali salju itu. katanya. Kalimat itu senantiasa tergiang di telinga saya setiap kali saya melihat salju turun.” Asako terdiam sejenak lalu menerawang, mencoba menyeret kembali segala kenangan masa lalu.
“Beberapa tahun kemudian”, lanjut Asako, “setelah saya berhasil menamatkan kuliah di Harvard University, saya mendampingi ayah terbaring di rumah sakit. Pada saat itu, salju baru turun di depan rumah sakit tempat Ayah dirawat. Dengan penuh harap ia meminta saya membuka tirai jendela rumah sakit untuk melihat butiran salju turun dari balik kaca. Saya memenuhi keinginannya. Dan, malam itu dia meninggal dengan senyum menghias bibirnya,” tutur Asako mengakhiri kisahnya. Matanya berkaca-kaca.
“Cerita yang sangat menarik, Asako! Ternyata kau memiliki pengalaman dan kenangan mendalam tentang salju,” saya memandangnya terharu.
“Terutama kenangan pahit, Taufiq-san. Masuda, kekasih saya, menyatakan perpisahan kami pada saat musim salju pertama turun, bulan Desember tahun silam,” Asako tiba-tiba terisak. “Dengan ringannya Masuda berkata, ‘Asako, masih selalu ada salju yang turun setiap tahun.’ Kemudian dia pergi begitu saja, tanpa kabar apapun. Hingga kini….” Kata Asako lirih. Air matanya mulai berlinang.
Saya tidak tahan untuk tidak memeluknya. Saya lalu mengambil sapu tangan dan menyeka air matanya.
“Apakah saya terlalu cengeng dan sentimental, Taufiq-san?” Asako bertanya dengan bibir bergetar.
Saya tersenyum dan menjawab seraya menepuk pundaknya,”Asako, mengekspresikan kesedihan itu alamiah. Setiap orang, termasuk saya, pasti memiliki masa lalu yang pahit. Oke, kita tak usah bercerita tentang salju. Gantian, saya yang akan bercerita tentang kampung halaman saya.”
Asako mengangguk, matanya yang redup mulai berbinar. Sayapun bercerita tentang Indonesia, kampung halaman saya. Tentang keindahan masa kecil saya bermain bola di atas petak sawah yang mengering dengan telapak kaki telanjang. Mandi beramai – ramai di sungai, dan… sapi peliharaan saya, Panjul, yang akhirnya dijual Ayah ke Pak Paimin untuk membiayai sekolah saya ke kota.
Saya mengisahkan kesedihan saya ditinggalkan Panjul. Saya membayangkan dia dipotong, dicincang, dibuat soto daging dan satai. Asako tertawa geli melihat ekspresi wajah saya ketika memamerkan gaya tukang daging dengan wajah dingin sedang mencincang si Panjul.
Saya mengakhiri kisah saya sambil memandang Asako yang tersenyum. Dalam keredupan lampu, saya melihat wajahnya bersinar cantik sekali. Malam semakin larut. Saya pamit pulang ke hotel saya yang letaknya tidak jauh dari suite apartemen Asako dengan berjalan kaki.
Saat mengenakan jaket, Asako tiba-tiba berdiri di hadapan saya, dekat sekali. Tatapannya misterius. “Taufiq-san, Arigato. Terima kasih,” katanya pelan. Ia lalu mencium pipi saya. Saya terperangah oleh kejutan yang tidak terduga itu .
“Oyasuminasai, Asako-san. See you tomorrow,” saya berkata kemudian berbalik pergi meninggalkan Asako yang masih berdiri terpaku di depan pintu apartemennya.
Sejak saat itu, hubungan saya dan Asako makin dekat. Asako selalu menemani saya mengunjungi daerah – daerah pariwisata terkenal di Kyoto. Kami pergi ke villa Kerajaan Katsura yang memiliki tata arsitektur etnik yang menarik. Termasuk perkampungan film Toei Uzumasa yang ditata apik bersuasana zaman feudal yang kental. Saya berusaha menjaga jarak dengan Asako .
Saya menghormati komitmen yang sudah ia berikan. Meskipun untuk itu saya harus memendam ketertarikan saya kepadanya dari hari ke hari. Pada saat saya terakhir berada di negara Sakura itu, kami berjalan berdua menyelusuri daerah Kawaramachi, salah satu pusat perbelanjaan terkenal di Kyoto. Kami lalu duduk di salah satu sudut restoran sembari menyantap tempura dan minum bir.
Kami memandangi orang yang lalu lalang dihadapan kami. Mereka seolah tak peduli musim dingin dengan timbunan salju yang menggumpal dimana-mana.
“Taufiq-san, rasanya….saya sudah jatuh cinta pada anda!” Asako tiba-tiba menyentak kesunyian di antara kami. Bibirnya bergetar mengucapkan kalimat itu.
“Asako, kau menganggap hal itu suatu kekeliruan?” Saya memandangnya tak berkedip, dan meletakkan kembali yakitori yang sudah saya ambil ke piring. Asako menghela nafas panjang.
“Bukan kekeliruan, Taufiq-san. Saya tak bisa mengingkari kata hati saya. Hubungan yang selama ini kita bangun telah menjelma menjadi suatu ikatan yang kuat, yang bagi saya telah memberikan nuansa tersendiri. Anda seorang pria yang memiliki kepribadian menarik, jujur, dan penuh semangat hidup. Mungkin hal itu yang membuat saya tak kuasa menahan perasaan saya, “ ucap Asako lirih, nyaris tak terdengar.
Saya terdiam, tak tahu harus berkata apa. Saya lalu melemparkan pandangan kepada orang-orang yang berseliweran di depan jendela restoran tempat kami berada.
“Anda tak perlu merasa bersalah, Taufiq-san. Saya sudah mengetahui bahwa inilah resiko hubungan kita. Saya tak menuntut apa-apa. Lagi pula, sejak awal pertemuan kita. Saya, sudah menandaskan bahwa saya tidak mau hubungan kita berkembang terlalu jauh. We’re just friend, Taufiq-san. Bila kemudian perasaan cinta semakin berkembang, anggaplah itu suatu intermezzo belaka, “Asako berkata dengan suara serak. Ia seolah memendam beban berat. Ditekurinya lantai restoran dengan menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Saya segera meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat. “Asako, saya sama sekali tidak mau menganggap hal itu suatu intermezzo atau lelucon. Walau kita dipisahkan oleh perbedaan, bagi saya cinta itu adalah bahasa yang universal. Saya tidak akan merasa bersalah jika memendam perasaan yang sama terhadapmu. Ini sesuatu yang wajar dan manusiawi. Apakah….. kita harus meninjau ulang komitmen kita, Asako?” saya bertanya penuh harap, dan menatap mata Asako yang jernih seperti jernihnya Danau Kurobe di Tomaya.
“Taufiq-san, Taufiq-san. Besok anda harus kembali ke Indonesia. Meninjau ulang komitmen yang telah kita sepakati rasanya sudah terlambat sekarang. Mengenal sosok anda , meski dalam waktu yang singkat, bagi saya merupakan suatu anugerah yang sangat berharga. Biarlah apa yang telah kita lalui bersama menjadi kenangan manis. Kita jalani saja hidup ini. Bukankah pada akhir musim gugur mendatang salju akan turun lagi?” ujar Asako ringan. Ia lalu tersenyum paling manis yang pernah saya lihat.
*****
Hari ini, awal Desember, ketika salju pertama kali turun, saya kembali ke Kyoto. Setelah 5 tahun meninggalkannya, masa lalu yang indah bersama Asako kembali membayang. Di manakah dia sekarang? Apakah ia telah menemukan salju baru-nya?.
Sejak saya kembali ke Indonesia, kami sering berkorespondensi lewat surat. Dalam suratnya ia sama sekali tidak menyinggung tentang hubungannya dengan pria lain. Asako sangat tertutup untuk hal itu. Tapi, hubungan kami hanya sempat berjalan dua tahun. Sejak saya menikah, hubungan kami terputus. Saya pernah mencoba menghubunginya beberapa kali, baik lewat surat maupun telepon, tetapi selalu tak ada jawaban.
Pada saat tiba di Kyoto, saya langsung mendatangi apartement di mana Asako dulu tinggal. Termasuk perusahaan periklanan tempat dia bekarja untuk mencari tahu di mana dia berada sekarang. Tapi, tak seorangpun memberi keterangan, membuat saya putus asa. Saya tidak tahu di mana Asako berada sekarang!
Saat ini saya berada di Kawaramachi. Saya berdiri di depan restoran di mana kami dulu makan siang, sehari sebelum kepulangan saya ke Indonesia. Saya tidak tahu, kekuatan magis apa yang telah menarik saya kemari. Meja dan kursi tempat kami duduk dulu tidak berubah. Suasana hiruk pikuk tempat perbelanjaan terlihat, meski udara agak dingin dan salju menyelimuti hampir seluruh pelosok kota.
Tiba-tiba saya merasa pundak saya di tepuk dari belakang. “Taufiq-san, kapan datang?”
Saya berbalik. Suara itu….Suara yang amat saya kenal. Seperti bergema dari jarak yang teramat jauh. Tapi, tidak! Asako berdiri di depan saya dengan wajah dan senyum yang nyaris tak berubah. Wangi parfumnya menyerbu akrab ke hidung saya.
Kami saling berpelukan melepas rindu. Setelah itu kami masuk ke restoran dan menempati meja dan kursi yang kami duduki dulu. Kami saling bertukar cerita. Saya menuturkan kegiatan saya, termasuk kelucuan putra saya, Rahmat. Si kecil itu hasil pernikahan saya dengan Sri, 3 tahun lalu. Asako lebih banyak diam dan memberi kepada saya kesempatan berbicara lebih banyak. Mata Asako terlihat lebih cekung, seolah menanggung beban kesedihan yang berat.
Keindahan dan kejernihan Danau Kurobe tak terlihat lagi di matanya. Saya merasa telah ada sesuatu yang tragis terjadi pada dirinya.
“Berbahagialah anda, Taufiq-san. Kehidupan perkawinan anda harmonis. Sayang, saya tak seberuntung anda,” kata Asako pelan. Ia seperti ingin mengungkapkan sesuatu yang sulit diutarakan.
“Ada apa, Asako-san? Katakanlah apa yang telah terjadi?”
“Saya berkenalan dan menikah dengan Tamura, salah seorang karyawan perusahaan sekuritas di Tokyo, 3 tahun silam. Setelah itu semuanya berubah. Saya ikut suami saya ke Tokyo. Ruang gerak saya mulai dibatasi. Saya hanya diberikan otoritas mendidik anak kami, Kimiko. Saya diminta berhenti dari pekerjaan saya dan hanya bekerja di rumah saja. Semua itu saya lakukan semata-mata untuk bakti saya kepada suami.”
“Tapi, yang terjadi kemudian sangat menyedihkan. Tamura menyeleweng dengan seorang gadis Geisha di kedai minum langganannya. Ia mulai jarang pulang ke rumah. Dan, yang paling menyakitkan, Tamura sering mabuk, bahkan memukuli saya tanpa sebab. Saya tidak tahan dan minta cerai. Saya lalu kembali ke Kyoto, membawa serta Kimiko. Saya baru tiba disini, 3 hari yang lalu. Sekarang, Saya tinggal di rumah kakak lelaki saya. Saya tidak tahu, mengapa nasib saya seburuk ini, Taufiq-san,” tutur Asako terbata-bata. Anehnya, ia tidak mengeluarkan air mata. Hanya wajahnya terlihat lebih tua dan layu. Ia kelihatan begitu menderita.
“Taufiq-san, saya tidak menyangka dapat bertemu dengan Anda kembali di sini. Anda masih ingat cerita saya tentang salju?” Asako memandang saya lekat-lekat.
“Ya, Asako, Bagaimana saya dapat melupakannya? Saat itu, di tempat kita berada sekarang, kau berkata, bukankah pada akhir musim gugur mendatang, salju baru akan turun lagi? Apakah bagimu kalimat itu berarti?”
“Sangat berarti, Taufiq-san. Kalimat itu saya ucapkan sebagai ekspresi kasih sayang saya kepadamu. Ketika saya berkenalan dan menikah dengan Tamura, saya menyangka telah menemukan ‘salju baru’ yang indah. Tapi ternyata, saya salah menafsirkan cinta Tamura. Dalam banyak hal, Anda memiliki kepribadian yang saya dambakan. Saya telah melewatkan kesempatan menikmati keindahan salju cinta anda. Itu suatu kekeliruan besar!” Ujar Asako sambil menundukkan wajahnya, menekuri lantai restoran.
“Asako-san,” saya mencoba menghibur hatinya, “ kehidupan berjalan begitu saja. Apa yang telah terjadi pada dirimu, pada saya, dan siapa pun juga, semua sudah di atur oleh-Nya. Kita hanya punya kehendak dan usaha. Selebihnya, Tuhan menentukan. Kamu tak perlu menyesalinya berlarut-larut. Hal itu justru membuat kau tenggelam pada kesedihan yang berkepanjangan. Pada saat ini, yang penting menata hati dan hari depan yang lebih baik. Jangan bermuram durja, Asako. Masih banyak orang yang mengasihimu. Ada Kimiko, saudara lelakimu, dan juga saya. Tak ada yang lebih berharga dari semua itu, bukan?”
Asako menatap saya lekat-lekat. Lalu, perlahan-lahan senyum manis terukir di wajahnya. Senyum yang begitu saya kenal. Dengan hangat ia kemudian mencium pipi saya.
“ Terima kasih, Taufiq-san,”bisiknya lirih di telinga saya. Matanya berbinar cerah.
Di luar salju mulai menebal. Gumpalannya bertebaran di mana-mana. Warnanya putih menyiratkan misteri yang tak terpecahkan. Sungguh suatu keindahan yang menakjubkan. Saya pun tahu pasti, saya telah memiliki keindahan yang sama. Nun jauh disana…di kampung halaman saya, pada mata teduh Sri, istri saya, dan binar ceria mata Rahmat, putra kesayangan saya.
Oleh Amril Taufiq Gobel
Dimuat di Majalah Femina Edisi 33/1998, tanggal 20-26 Agustus 1998
Catatan :
Dozo = Silahkan
Kampai = Bersulang
Arigato Gozaimasu = Terimakasih banyak
Oyasuminasai = Selamat Malam
Catatan :
Dozo = Silahkan
Kampai = Bersulang
Arigato Gozaimasu = Terimakasih banyak
Oyasuminasai = Selamat Malam
2 comments:
artikel "turun salju" ini lemayan panjang ya? dan saya agak "malu" menterjemahkan ke dlm bhs. Jepang karena terlalu romantis...demo,gambarimasu.tunggu sampai flu saya sembuh total, ok?
N.B.foto2 di blog bagus sekali. tak rugi bawa kamera yang berat itu ke mana-mana!
Ini Eguchi-san ya...?
Lagi flu berat?
Ok, cepat sembuh, supaya bisa terjemahkan `Salju di Kyoto`.
:-)
Terima kasih.
-Papi Lukas-
Post a Comment