Wednesday, May 20, 2009

Investor atau Spekulator?

Dikantor, teman-teman sudah mulai ramai mengeluarkan cadangan devisanya untuk mulai "ikutan" berkecimpung di stock market. Saya pun mulai tergoda. Dari cerita-cerita yang ada, sungguh memang sangat menggoda. Investasi gue sudah berkembang 200%, gak mungkin rugi deh.., buktinya duit gue berkembang biak dengan cepat disini..., gak pake repot-repot jalanin usaha beneran, kan temen-temen juga sudah mulai banyak yang ikutan...dan banyak juga yang jadinya cari hutangan untuk "diinvestasikan" ke pasar saham...
Hmm, gimana ya...?! Disatu sisi kondisi kantor yang tidak kondusif jadi berakibat terhambatnya pemasukan finansial untuk saving keluarga, sementara kebutuhan keluarga trennya selalu ada slope positif terhadap waktu. Ini gak bisa didiamkan...harus cari cara bagaimana mencari tambahan!
Tapi bagaimana? Semua temen-temen kantorpun mungkin berpikiran sama. Cari-cari tambahan, jangan berharap sama perusahaan yang lagi memble, salah atur! 
Satu mencoba, yang lain jadi ikut-ikutan. Semua optimis bisa jadi lahan menuai penghasilan tambahan buat keluarga tercinta... main dibursa saham melalui e-trading!
Disisi lain, saya punya sedikit pengetahuan mengenai seluk beluk derivative market. Pointnya, itu sangat spekulatif, lebih baik berinvestasi disektor riil, buka usaha!
Untungnya dilema ini tidak berkepanjangan. Saya sudah memulai suatu usaha yang real! Mencoba menekan godaan spekulatif yang menjanjikan keuntungan berlimpah dengan mudah, tapi juga bisa menghancurkan dengan sangat cepat.
Ya, saya belum berani masuk coba-coba bermain di stock market melalui e-trading itu..tapi bagaimanapun saya cari tau seputaran kegiatan di stock market yang derivative tersebut.
Ini sedikit cuplikan sebagai bahan renungan...

—-00O00—-


WHAT THEY SAID
Never buy a stock immediately after a substantial rise or sell one immediately after a substantial drop
Benjamin Graham
Article by Alina (ditulis 6 Mei, 2009) :
2 tahun lalu, ketika bursa saham sedang dalam trend kenaikan (bullish) dan indeks sedang mencetak rekor tertinggi, seorang pemuda melihat keuntungan yang diperoleh para ‘investor’ yang berinvestasi sejak awal 2007. Tanpa pengetahuan berinvestasi yang mencukupi ditambah Ia baru saja memperoleh dana, Ia pun berpikir untuk  mencoba peruntungannya terjun dan ‘berinvestasi’di bursa saham. Si pemuda pun senang merasa telah menjadi seorang ‘investor’di bursa saham dan berharap memperoleh keuntungan yang sama besar seperti para ‘investor’ sebelumnya.
Belum genap satu tahun Ia berinvestasi, kecemasan, penyesalan, dan berbagai pertanyaan berkecamuk dalam dirinya. Kenapa bursa saham malah mengalami trend penurunan (bearish)? Apa yang salah dengan investasinya sehingga mengalami kerugian begitu banyak? Si pemuda akhirnya bertemu dengan om Ben (Benjamin Graham).
Si Pemuda : Kenapa investasi saya mengalami kerugian?
Om Ben : Kamu melakukan kesalahan fatal dalam berinvestasi. Kamu membeli di saat harga saham  sudah terlalu tinggi.
Si Pemuda : Lalu apa yang harus saya lakukan saat ini?
Om Ben : Ubah cara kamu berinvestasi, gunakan metode Dollar Cost Averaging (DCA). Membeli sedikit-demi sedikit dengan jumlah uang yang sama secara rutin setiap bulan, tanpa memperhatikan gerakan pasar yang sedang naik atau turun.
Si Pemuda : Kapan saya harus memulai metode ini?
Om Ben : Lakukan mulai saat ini jangan perhatikan gerakan pasar yang sedang naik atau turun.
Si Pemuda : Baik Om Ben.
Si Pemuda sudah memperoleh pengetahuan dari Benjamin Graham tentang bagaimana cara berinvestasi bagi seorang investor. Namun si pemuda masih tetap khawatir dengan trend penurunan bursa saham yang masih terus berlanjut. Ia pun memutuskan untuk menunggu trend penurunan bursa saham berakhir. Meskipun Ia sedang memiliki dana untuk memulai DCA di bursa saham, Ia malah memilih berinvestasi secara aman di Obligasi.
Ketika bursa saham mulai mengalami trend kenaikan trauma masa lalu masih menghantui dirinya. Bayangan kerugian yang pernah terjadi membuat Ia menunggu ‘waktu yang tepat’ untuk kembali memulai berinvestasi di bursa saham, meskipun Ia sendiri tidak tahu kapan waktu itu akan datang.
Saat ini, Ia belum juga memulai kembali untuk berinvestasi di bursa saham. Kembali kecemasan, penyesalan, dan berbagai pertanyaan berkecamuk dalam dirinya karena bursa saham terus naik. Apakah bursa saham sudah memasuki trend kenaikan (bullish)? Apakah sekarang waktu yang tepat untuk memulai metode DCA seperti yang disarankan Om Ben? Kenapa Ia idak memulai metode DCA dari dulu sehingga bisa menikmati keuntungan saat ini?
—-00O00—-
Cerita di atas hanya sebuah ilustrasi yang mungkin sedang banyak terjadi saat ini. IHSG yang memcapai rekor tertingginya pada Januari 2008 tiba-tiba turun tajam pada Oktober 2008, kurang dari satu tahun. Namun kini IHSG kembali perkasa dan telah naik lebih dari 60% dari titik terendahnya di September 2008. Banyak orang yang ingin menjadi ‘investor’ di bursa saham memiliki rasa khawatir akan kembali jatuhnya bursa saham. Tanpa mereka sadari, rasa khawatir dari fluktuasi pasar telah membuat mereka menjadi seorang spekulator.
Perbedaan paling realistis antara investor dan spekulator ada pada perilaku mereka terhadap pergerakan pasar saham. Kepentingan utama seorang spekulator terletak pada tindakan antisipasi dan pengambilan keuntungan dari fluktuasi pasar. Seorang investor sadar bahwa harga sahamnya akan berfluktuasi dan tidak merasa khawatir oleh penurunan besar, juga tidak akan girang dengan kenaikan tajam. Ia akan selalu ingat bahwa harga pasar akan selalu memihaknya. Ia tidak akan pernah membeli saham karena harganya naik, atau menjualnya karena harga turun.
Ia tidak akan pernah membuat kesalahan besar jika mengikuti moto sederhana ini : “Jangan pernah membeli saham segera setelah terjadi kenaikan substansial atau menjual saham segera setelah terjadi penurunan substansial”
—-00O00—-

Article by Edison (ditulis 11 Mei, 2009) :
Pagi ini, saya bersama keluarga sedang menikmati makan pagi di salah satu hotel di Jakarta. Sambil menikmati kopi, saya pun mulai membuka koran Kompas yang saya bawa dari kamar hotel. Di salah satu halaman harian tersebut, saya menemukan artikel karya Adler Haymans Manurung. Bagi yang tidak mengenal nama ini, Adler ini adalah seorang praktisi Pasar Modal dan Pengajar di beberapa Universitas terkemuka. Dia juga telah menulis beberapa buku, antara lain “Reksadana Investasiku”, dan”Financial Planner: Panduan Praktis Mengelola Keuangan Keluarga”.
Artikel Adler sendiri di Kompas hari ini cukup menggelitik rasa ingin tahu saya. Judul artikel tersebut adalah “Bermain Saham Gorengan”. Karena penasaran apa pendapat Adler tentang ‘bermain saham gorengan’, saya pun mulai membaca artikel tersebut. Tetapi begitu membaca beberapa paragraf, saya pun tersedak kopi saya karena kaget dengan tulisan Adler tersebut. Berikut saya kutip beberapa bagian dari artikel tersebut : (artikel tersebut bisa dibaca lengkap di sini)
Saham goreng-gorengan dapat diperhatikan ketika bursa mulai buka. Tiga puluh menit pertama saham ini sangat bergejolak dan bisa membuatinvestor ketakutan. Harga saham turun tajam mendekati batas suspens saham dan bergerak lagi naik menuju suspens batas atas saham tersebut.Investor yang sudah sering bertransaksi saham, bahkan yang suka berjudi, sangat cocok memerhatikan saham ini karena memberi keasyikan sendiri.
Investor yang bertransaksi di bursa sering kali mendengar rumor yang membuat harga saham bergerak naik atau turun. Bahkan, ada investorhanya mengandalkan rumor untuk mendapat keuntungan dalam bermain saham di bursa.
Investor yang piawai dan sangat mengenal berinvestasi dan bertransaksi saham di bursa sering juga bertransaksi menggunakan margin. Artinya, investor bisa membeli saham beberapa kali dari dana yang dimiliki.
Bila investor melihat harga drop 20 persen dan tidak ada kejadian atau rumor jelek beredar yang membuat harga lebih jatuh esok harinya,investor ancang-ancang untuk beli. Kemudian, ketika saham ini naik tajam lagi dan melebihi 15 persen dari harga sehari sebelumnya, investor sudah saatnya keluar dan dapat merealisasikan keuntungan yang tinggi. Bila tindakan ini dilakukan dengan jumlah besar dan tepat, investor akan memperoleh untung besar dan bisa memberikan dana pensiun investorsehingga investor bisa bebas dari masalah finansial.
Kalau seseorang mengatakan kepada anda, bahwa ia:
  • Merasa takut karena saham yang dibelinya bergejolak dalam 30 menit pertama bursa dibuka.
  • Hanya mengandalkan rumor untuk mendapatkan keuntungan dalam‘bermain’ (???) saham di bursa.
  • Membeli saham ‘gorengan’ beberapa kali lipat dari dana yang ia miliki, dengan menggunakan margin.
  • Membeli saham hanya karena harga saham tersebut hari ini sudah turun 20% dan tidak ada kejadian atau rumor jelek beredar yang bisa membuat harga saham tersebut LEBIH turun lagi BESOK.
  • Membeli saham hari ini, dan berharap bisa menjual saham tersebut besok……
maka apakah yang akan ada di kepala anda? Apakah orang tersebut adalah seorang Investor atau Spekulator (tanpa ia sadari)? Apakah yang dilakukan orang tersebut merupakan Investasi atau Spekulasi? Apakah benar dengan cara seperti ini, seseorang bisa mendapatkan “kebebasan finansial”? Atau malahan kemungkinan besar ia akan terkena “malapetaka finansial” (cepat atau lambat)?
—–oOo—–
Membaca apa yang ditulis oleh Adler tersebut, mau tidak mau saya kembali teringat kepada tulisan Ben Graham di bab I “The Intelligent Investor”. Dalam bab tersebut, Graham menulis tentang keadaan di Amerika pada tahun 1970-an :
Media massa pada saat ini menggunakan kata “investor” dalam hal-hal ini, karena pada saat ini di Wall Street, setiap orang yg membeli atau menjual saham telah dianggap sebagai investor, tanpa memperdulikan apa yang dia beli, harga belinya, ataupun metodenya (cash atau margin)
Yang membuat saya ‘tertawa’ (miris), adalah karena apa yang sedang terjadi di negara kita ini adalah apa yang justru dikritik oleh Graham pada waktu itu. Kata‘Investor’ dan ‘Investasi’ diobral dengan mudah, seperti yang bisa terlihat dalam artikel Adler tersebut, meskipun praktek-praktek yang disinggung itu adalah justru praktek spekulasi. Jika seorang Adler Haymans Manurung (yg konon kabarnya kerap dicap sebagai “bapak Reksadana Indonesia”) saja tidak membedakan antara Investasi dan Spekulasi, bagaimana dengan khalayak umum?
Jika masyarakat beramai-ramai melakukan apa yang diceritakan oleh Adler dalam artikelnya tersebut, maka di masa depan (cepat atau lambat), saya pasti akan terpaksa menulis artikel dengan judul “Mati Menangis Ala Spekulator” karena banyaknya orang yang ‘mati’ akibat spekulasi seperti ini.
—–oOo—–
Pada akhir artikel ini, saya pikir mungkin ada baiknya saya membagi sebagiandari apa yang telah dituliskan oleh Ben Graham dalam bab I “The Intelligent Investor”. Bab ini merupakan salah satu bab favorit saya. Dengan membaca tulisan Graham tersebut, mudah-mudahan anda bisa lebih mengerti apa yang ingin saya sampaikan dalam artikel ini.
PS: Ini merupakan terjemahan yang saya lakukan sendiri dari buku The Intelligent Investor bahasa Inggris, Revised edition. Mungkin akan sedikit berbeda dibandingkan jika anda membaca versi Indonesia buku tersebut. Dalam melakukan terjemahan/rangkuman ini, saya akan selalu berusaha untuk memakai terjemahan  langsung, tetapi jika saya merasa terjemahan langsung akan sulit dimengerti oleh banyak orang, saya akan menggunakan bahasa yg lebih sederhana. Saya juga akan membuang beberapa kalimat ataupun paragraph yg saya rasa agak repetitive ataupun tidak terlalu penting.
—–oOo—–

THE INTELLIGENT INVESTOR

Ben Graham
BAB I: Investasi versus Spekulasi

Apa yg dimaksud dengan “investor”? Dalam buku ini, kata “investor” akan dipakai secara  berlawanan dari kata “Spekulator”. Dalam buku kami “Analisa Sekuritas” (1934), kami mencoba memformulasikan perbedaan keduanya sebagai berikut :
Investasi adalah sebuah operasi yang, melalui analisa yg mendalam, menjanjikan  keamanan modal pokok dan juga tingkat pengembalian (return/hasil) yg LAYAK.  Operasi yang tidak memenuhi persyaratan di atas adalah spekulasi.
Meskipun kami telah berpegang kepada definisi di atas selama masa 38 thn (1934-1972), selama periode ini ada suatu perubahan radikal yg terjadi dalam penggunaan kata “Investor”. Setelah periode 1929-1932, (Edison: Bursa saham USA rontok pada masa tersebut) masyarakat secara luas menganggap bahwa semua saham itu bersifat spekulasi. Seorang pakar ekonomi pada saat itu bahkan menyatakan bahwa hanya obligasi yang pantas disebut sebagai investasi dan hanya pembeli obligasi yg pantas disebut “investor”.  Pada saat itu definisi investasi kami dianggap terlalu “longgar”.
Pada saat ini (1972), keadaannya justru terbalik. Kami ingin melindungi para pembaca dari penyalah-gunaan kata “investor”, dimana trend pada saat ini adalah semua orang yg ‘bermain’ di pasar saham disebut “investor”. Dalam edisi terdahulu buku ini, kami ada  mengutip sebuah artikel dalam jurnal finansial terkemuka terbitan Juni 1962: “Investor kecil Bearish, Mereka melakukan short-selling saham”. Kini pada Oktober 1970, jurnal yang  sama memuat sebuah artikel tentang “Reckless investor/Investor gegabah yang mulai membeli saham”.
(Edison: “Bearish” adalah kondisi dimana para pelaku dalam pasar saham itu pesimis dan berpendapat bahwa saham akan turun. Kebalikan dari ini adalah “Bullish”. Short-sell secara sederhana adalah praktek dimana seseorang yg “bearish” itu meminjam saham dari orang lain (dgn membayar fee), lalu menjual saham itu dengan harapan harga saham itu di kemudian hari akan turun. Jika itu terjadi, dia bisa membeli kembali saham itu dengan harga lebih murah utk dikembalikan ke pemilik saham. Selisih antara harga jual (tinggi) dengan harga beli  (rendah) ini menjadi keuntungan bagi si short-seller itu.)
Kedua artikel di atas melukiskan kekacauan dalam penggunaan kata “investasi” dan “spekulasi” selama ini. Bandingkan definisi “investasi” kami dengan perilaku masyarakat di atas. Bagaimana suatu operasi bisa dikatakan sebagai “investasi” bila dilakukan oleh orang yg tidak berpengalaman, yang bahkan tidak memiliki barang yg dia jual, dan hanya berdasarkan kepada keyakinan emosional (firasat) bahwa dia akan bisa membeli kembali barang yg dia jual dengan harga yg lebih murah? (Kami ingin mengingatkan kembali bahwa pada tahun 1962 itu, pasar telah jatuh sangat rendah dan justru akan kemudian naik dengan drastis. Masa itu adalah masa paling salah utk melakukan “short-sell”)
Artikel kedua yg memakai kata “investor gegabah” itu juga bisa ditertawakan karena kontradiksi (pertentangan) diantara kedua kata tersebut. Ini sama halnya seperti jika kita berkata “orang hemat yang boros”.
Media massa pada saat ini menggunakan kata “investor” dalam hal-hal ini, karena pada saat ini di Wall Street, setiap orang yg membeli atau menjual saham telah dianggap sebagai investor, tanpa memperdulikan apa yang dia beli, harga belinya, ataupun metodenya (cash atau margin). Bandingkan kondisi ini dengan kondisi pada tahun 1948, dimana dalam suatu survey, 90% orang mempunyai pandangan negatif tentang saham, dengan berbagai alasan spt “tidak aman”, “spekulatif”, “spt judi/gambling” dan “tidak paham tentang saham”.
Sangat ironis (meskipun tidak mengherankan) bahwa saham justru dianggap “spekulatif” di saat mereka dijual dengan harga yg sangat murah dan “atraktif”. Ironis juga bagaimana sebaliknya justru ketika saham naik ke tingkat harga yg tinggi (mahal) dan “berbahaya”, saham justru dianggap sebagai “investasi” dan semua pembeli saham disebut sebagai “investor”.
Pembedaan antara “investasi” dan “spekulasi” adalah sesuatu yg sangat penting, dan semakin menghilangnya pembedaan ini merupakan sesuatu yg sangat mengkhawatirkan. Kami sering berkata bahwa Wall Street sebagai suatu institusi seharusnya membedakan “investasi” dan “spekulasi” dan menginformasikan perbedaan keduanya kepada publik. Jika tidak, suatu hari, bursa saham bisa disalahkan atas kerugian spekulatif yang besar, yang diderita oleh orang-orang yang tidak diperingatkan tentang perbedaan antara investasi dan spekulasi.
Kami percaya bahwa pembaca buku ini akan mendapatkan sebuah gambaran yg cukup jelas tentang resiko-resiko yg terkait dalam investasi saham. Resiko ini merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari peluang Profit/Untung yang ditawarkan, dan harus menjadi bagian dari perhitungan kita.
Seorang investor harus mengenali bahwa di sebagian besar waktu, akan ada faktor spekulatif dalam investasi saham. Tugas seorang investor adalah menjaga agar komponen spekulatif ini di tingkat yg minimum, dan mempersiapkan diri secara finansial dan psikologis utk hasil yg buruk, yg mungkin saja hanya sementara, ataupun juga berlangsung agak lama.
Suatu catatan penting, yaitu kita harus membedakan antara spekulasi saham murni dengan faktor spekulatif yg terkandung dalam hampir setiap saham. Spekulasi murni bukanlah sesuatu yang illegal atau juga immoral, tetapi juga biasanya tidak membuat dompet anda lebih tebal (bagi kebanyakan orang).
Seperti halnya di dunia ini ada “Intelligent Investing” (Investasi dengan cerdik), ada juga “Intelligent Speculation” (Spekulasi dengan cerdik). Tetapi ada banyak kondisi dimana spekulasi itu menjadi sesuatu yg “tidak cerdik” (BODOH). Kondisi-kondisi itu terutama :
  1. Berspekulasi dengan berpikir bahwa anda sedang berinvestasi (Tidak sadar kalau sebenarnya sedang berspekulasi).
  2. Berspekulasi secara serius (bukan sbg “hiburan”), padahal ilmu, pengetahuan dan kemampuannya tidak mencukupi utk itu.
  3. Berspekulasi dalam jumlah yang terlalu besar, padahal sebenarnya kita tidak mampu utk kehilangan uang sejumlah itu.
Dalam pandangan kami, setiap non-profesional yang ber”main” saham dengan margin (Edison: secara sederhana, membeli dengan margin itu berarti membeli saham dengan meminjam uang dari broker), harus sadar bahwa sebenarnya dia itu berspekulasi (atau lebih parah lagi berjudi). Demikian juga  dengan orang-orang yg membeli saham yang sedang “hot” tanpa analisa.
Spekulasi memang mengasyikkan, terutama jika kita sedang menang. Jika anda ingin mencoba keberuntungan anda, pisahkan sebagian uang anda -semakin sedikit semakin baik- sebagai dana utk spekulasi. Jangan pernah menambahkan uang ke dalam dana ini hanya karena anda sedang menang. Itu justru saatnya untuk menarik sebagian uang dari dana spekulasi tersebut. (Edison: Terlebih lagi jika kita kalah….jangan kita justru menambah uang utk spekulasi ini).
Jangan pernah mencampurkan dana utk investasi dan dana utk spekulasi anda! Juga jangan pernah mencampurkan investasi dan spekulasi dalam otak anda!


3 comments:

Anonymous said...

untuk tren saham sahat ini yang lagi tren naik (uptren) sangat berbeda kondisinya pada tahun 2007 yang tadi diceritakan, jadi sekarang saatnya menjadi spekulator ataupun investor......

papilukas said...

nah kan, masih juga belum bisa membedakan antara spekulator dengan investor..!
gw kayaknya tau nih yg anonymous diatas...
mr. januar pribadi kan...?!
spekulator sejati,hehe...
:-)

tamsil said...

Wih dari 2009 sdah investasi skrg sudah mencapai brapa itu profitny pak?