Saturday, July 10, 2010

Keliling Jawa Tengah: Solo - Salatiga

Seperti biasa, jalan-jalan kami kali ini juga menggunakan flight Air Asia dengan membeli tiket jauh-jauh hari sebelum keberangkatannya. Kira-kira 7 bulan sebelum terbang, tiket sudah dibeli. Waktu itu ada promo "Rp 0,-". Ber-4, return ticket dapat Rp 420 rb sudah termasuk bagasi 15 kg pulang pergi Jkt-Jogja-Jkt. Lumayan lah...
Ke Jogja lagi? Apa lagi yang mau dilihat? Apa gak bosen?
Sebetulnya bosen sih enggak lah...kan suasananya selalu berganti-ganti. 3 Tahun lalu kami terakhir kesana, si Timmy belum ada setahun. Tapi yah, kali ini memang masanya liburan sekolah. Jogja pasti full..!
Eh bener, kota Yogyakarta dipenuhi manusia dari semua pelosok nusantara. Bukan cuma anak-anak sekolah yang study tour kesana saja, tapi pas waktunya kesana lagi ada muktamar akbar Muhammadyah. Wah..jalan-jalan macet. Hotel penuh! Yang rate normalnya sekitar 150 rb-an, pasang harga sampai 350 rb-an, itupun penuh. Beberapa rombongan sekolah yang lagi study tour gak kebagian penginapan, salah manajemen, jadinya tidur di bus. Kasian...

Tapi beruntungnya, itu hanya di hari terakhir saja liburan kami di Jawa Tengah.
Ya, saya sih sudah feeling Jogja bakalan ramai. Tapi gak tau kalau bakalan ada muktamar Muhammadyah juga.
Jadi memang kami gak full liburan di kota Jogja saja, tapi jauh-jauh hari saya sudah punya ide untuk ngajak anak-anak menjelajahi country road keliling Jawa Tengah.
So, kira-kira seminggu sebelum berangkat, akhirnya deal sewa kendaraan selama 5 hari 4 malam disana. Kami dapat di Cahaya Rent Car ( http://www.yogyes.com/ ), Rp 225 rb per 24 jam untuk Avanza lepas kunci. Sebetulnya ada beberapa yang lebih murah dari itu, juga tergantung dari pilihan kendaraannya, tapi ini kan lagi peak season...jadi susah nawarnya. 225 rb/ 24 jam lepas kunci di Jogja yang lagi peak season, not bad lah...
Tadinya sempat bingung gimana jaminannya ya? Kan biasanya harus ada KK (kartu keluarga) domisili setempat. Tapi ternyata kami cuma diminta siapin aja KTP asli, kartu NPWP, dan ID card kantor. Bisnis jadi semakin simple aja ya...
Turun dibandara Adi Sucipto Yogyakarta, mobil sudah siap. Selesai urusan administrasi serah terima kendaraan (bayarnya belakangan pas mulangin kendaraannya), cek kondisi kendaraan, selesai deh...ready to adventure.
Tujuan pertama, mampir dulu di rumah sepupunya mami lukas didaerah ring road utara, istirahat sebentar dan sarapan pagi. Setelah itu, petualangan yang sesungguhnya pun dimulai deh...

Seperti direncanakan, kami langsung menuju Solo atau Surakarta untuk menginap disana.
Saya memang sudah merencanakan untuk menginap di empat kota; Solo, Salatiga, Wonosobo, dan terakhir Jogja. Tapi kami go show saja, gak ada satupun penginapan yang sudah direservasi sebelumnya. Paling apesnya tidur di mobil...
Oya, kalau mau touring seperti ini jangan lupa bawa peta ya. Itu sangat penting sekali. Kami sendiri bawa peta yang biasanya dibagi-bagikan dipintu tol menjelang libur lebaran. Peta itu cukup detail dan sangat membantu sekali.
Menuju kota Solo, tidak jauh dari perbatasan kota Jogja, mampir dulu di Prambanan.
Sight seeing, foto-foto, dan lanjut lagi deh...
3 tahun lalu kami kesana, semua candi dipagari, pengunjung dilarang masuk, cuma bisa melihat-lihat dari luar saja. Ya, itu karena baru terjadi gempa hebat disana. Batu-batu candi kecil dan besar banyak yang runtuh dan berserakan ditanah. Saya sendiri miris sekali melihatnya waktu itu. Sayang sekali cagar budaya kita yang sangat kuno itu tidak dapat menahan guncangan gempa yang maha dahsyat menurut cerita orang-orang disana. Belakangan, saya mendengar sendiri cerita pilu mengenai gempa Jogja ini waktu saya menginap disatu desa di Bantul, rumah Mas Mendung, tukang becak di Jogja (saya nitip cariin sepeda onthel lawas dikampungnya, eh dia sendiri gak nyangka saya datang lagi dan akhirnya menginap dirumahnya, hehe...). Baca posting sepeda onthel...
Tapi Prambanan sekarang sudah bisa dimasuki, kecuali candi Syiwa-nya (yang terbesar).
Tiket masuk dijual seharga Rp 15 rb untuk hari biasa dan 20 rb untuk Sabtu dan Minggu. Ada juga tiket terusan, yaitu ke candi Prambanan & Ratu Boko Rp 25 rb hari biasa, dan 30 rb di hari Sabtu dan Minggu, itu sudah termasuk transportnya ke candi Ratu Boko. Sudah mahal juga ya...


Candi Prambanan






Kira-kira 1 jam perjalanan dari Prambanan, kami sudah sampai di Surakarta.
Sebelum memasuki wilayah Surakarta, kami mampir makan siang dulu di warung makan "Pak Min" di jl. A. Yani - Gombongan, Kartasura. Awalnya sempat bingung juga antara Kartasura dan Surakarta, ternyata itu berbeda. Kartasura adalah kabupaten, sedangkan Surakarta adalah kotamadya yang jauh lebih besar. Kalau dari Jogja ke Surakarta melewati Klaten akan ketemu Kartasura terlebih dulu sebelum memasuki Surakarta. Kira-kira 10 menit perjalanan baru masuk ke Surakarta. Demikian sodara-sodara...
Warung Pak Min ini terlihat ramai pengunjungnya, jadi menarik perhatian untuk mencoba masakannya. Menunya; berbagai jenis sop ayam, sop daging ayam, brutu ayam, brutu pecok. Apa tuh..? Brutu itu sepertinya wilayah pantat ayam, dan pecok sepertinya ada tulang-tulang belakang ayamnya. Harganya relatif murah berkisar Rp 7 rb-an seporsi sop ayamnya. Kaldunya cukup terasa dan rasanya segar, lumayan.

Memasuki kota Solo, round-round cari-cari penginapan disepanjang jalan utamanya. Sempat "coba-coba" tanya n' mampir di hotel boutique "De Solo" yang kelihatannya simple dan berkelas...tapi harganya dipatok 400 rb, itupun katanya sudah diskon 30%. Wah, bisa berabe nih...
Untungnya sudah browsing sebelumnya cari referensi dari para backpackers mengenai penginapan murah di kota ini. Langsung aja deh ke tujuan, dari pada habis waktu...hotel Matahari di jl. Kartopuran 8, Solo. Sudah ditawar-tawar habis, gak mau turun lagi dari Rp 130 rb untuk family room, AC dengan 2 tempat tidur, 1 yang queen size dan 1 lagi yang single bed. Harga sudah termasuk breakfast untuk 2 orang. Kondisi kamar cukup bersih, luas, ada balcony-nya, dan yang terutama: dekat dari PJS (pusat jajanan solo), pasar Klewer dan keraton Surakarta-nya.
Pagi esoknya, kami jalan santai ke keraton Solo, melewati PJS dan pasar Klewer. Mampir makan serabi Solo dengan harga Rp 900,- ambil 3 potong, bayar pakai uang 5 rb-an kembaliannya Rp 2.300,- pas! Ternyata uang Rp 100,- masih berlaku disini, hehe...
Sebelum pasar Klewer, belok kiri dulu memasuki kampung batik Kaoeman. Tapi karena masih pagi sekali, cuma beberapa toko saja yang sudah buka.
Capek jalan, kami istirahat dulu di bench yang ada dipinggir gang yang ada miniatur kereta kencananya. Eh, gak lama ibu yang punya rumah keluar untuk menyirami tanaman bunga dipinggir gang itu. Jadi kenalan dan ngobrol-ngobrol deh, eh malah disuruh masuk mampir kerumahnya. Jadilah kami tamu istimewa pagi-pagi di rumah itu dan disuguhi makanan minuman juga es krim.

Bapak dan ibu Suroso yang tinggal dirumah itu keduanya sudah pensiun dari pegawai negeri.
Pak Suroso dulu pengajar atau dosen di AAL (akademi angkatan laut), dan ibu Suroso terakhir berdinas di Pemda DIY Yogyakarta. Ibu Suroso ini alumnus fakultas hukum UGM lho, angkatan jebot alias angkatan tempoe doeloe. Beliau kenalannya banyak yang sudah "jadi", dan kadang masih berhubungan dengannya. Ibu Suroso sendiri punya pengalaman beberapa kali ke luar negeri untuk menari tari Jawa. Termasuk juga saat perkawinan ratu Wihelmina di Belanda sana, ia menari Jawa dihadapan Ratu Londo tersebut. Luar biasa juga ya...
Pak Suroso kegiatannya ya membuat miniatur kereta-kereta kencana tersebut, juga kapal-kapal layar terkenal masa lalu. Untuk membuat miniatur kereta kencana itu, beliau hanya melihat dari foto dikalender-kalender bekas yang ia kumpulkan. Tapi untuk miniatur kapal layar, pak Suroso membuatnya dengan skala yang presisi dari gambar yang ia punya dari buku perkapalan yang jadul. Salah satunya, ia membuat miniatur kapal layar " Sovereign of The Seas", kapal layar Amerika yang cukup terkenal dahulunya. Beliau juga punya banyak pengalaman bepergian ke luar negeri selama berdinas jadi pengajar AAL. Wah, luar biasa deh...
Pada awalnya saya heran, kenapa mereka sepertinya sangat berbahagia sekali menerima kami masuk ke rumahnya. Belakangan saya tahu ternyata mereka tidak mempunyai anak, dan tinggal di rumah itu hanya berdua saja di hari tua mereka. Kasian ya...

Didepan rumah ibu Suroso di kampung batik jl. Wijaya Kusuma No. 7, Kauman, Solo


Karya-karya pak Suroso


Pabrik Batik di Solo

Setelah anak-anak puas bercengkerama dengan eyang barunya, kami pun pamitan dan meneruskan journey kami. Melewati pasar Klewer hanya di pinggirannya saja, takut, karena pasar itu terkenal dengan copetnya. Gak jauh, sampailah kami di keraton Surakarta.
Tiket masuk keraton Rp 8 rb untuk dewasa dan 6 rb untuk anak-anak. Pengunjung ditunggu sampai jumlah tertentu dan dengan ditemani seorang guide diantar mengelilingi kawasan keraton dan museumnya. Di kawasan tertentu di dalam keraton tidak diperbolehkan memakai celana pendek dan sandal jepit, jadi sandal jepit dititipkan dan "nyeker" saja, tapi celana batik panjang disediakan untuk pengunjung laki-laki yang memakai celana pendek. So, bisa masuk dan muter-muter didalam keraton Surakarta.
Disini saya baru tahu apa bedanya; Solo dengan Surakarta?
Ternyata Surakarta itu adalah nama kerajaan turunan Majapahit, kemudian Mataram, yang kemudian pecahannya menjadi Surakarta yang berdiri di desa Solo. Begitu ceritanya...
Jadi pertanyaannya, lebih tua mana Surakarta atau Yogyakarta? Ya lebih tua Surakarta. Kerajaan Yogyakarta itu berdiri karena kerajaan Surakarta dipecah oleh Belanda dengan maksud supaya tidak terlalu kuat pada waktu itu.

Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram (diwakili oleh Sunan Pakubuwana III), dan kelompok Pangeran Mangkubumi.Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini.Pangeran Mangkubumi demi keuntungan pribadi memutar haluan menyeberang dari kelompok pemberontak bergabung dengan kelompok pemegang legitimasi kekuasaan memerangi pemberontak yaitu Pangeran Sambernyawa. Perjanjian yang ditandatangani pada bulan 13 Februari 1755 ini secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen. Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo), di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.

Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti

Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.

-dari wikipedia-


Keraton Surakarta




Menara Semedi atau Panggung Sangga Buwana
Tembok menaranya setebal 2,5 meter! Ada yang bilang menara ini untuk mengawasi benteng istana, dimana gak jauh dari situ ada juga benteng VOC. Tapi guide kami waktu itu menjelaskan bahwa menara ini adalah tempat pertemuan raja-raja Surakarta dulu dengan Nyai Roro Kidul.


Beberapa unsur bangunan di keraton Surakarta adalah buatan Belanda seperti tiang keraton ini.



Puas round-round kota Solo, perjalanan berlanjut ke Salatiga.
Kira-kira 1 jam perjalanan sebetulnya sudah sampai ke Salatiga. Tapi kemarin itu karena banyak truk-truk besar dari Jogja, Klaten, Solo dan sekitarnya yang menuju ke arah Semarang, jadinya membuat perjalanan menjadi lambat. Apalagi dari Solo ke Salatiga banyak jalan yang mendaki, ke arah perbukitan. Begitu sodara-sodara...
Makan siang, kami mampir di Boyolali, agak ke luar kota, dipinggir kiri jalan sepertinya ada warung makan yang ramai sekali, "Soto Seger Mbok Giyem". Menunya soto daging sapi atau babat yang memang seger dengan aneka tambahan lauk tusukan; telor burung puyuh, ati ampela, dll. Harga per porsinya Rp 4 rb! Iya, suer gak salah, cuma 4 rb. Sotonya sudah dicampur nasi didalam porsi ricebowl kecil. Saya sih makan 2 porsi baru terasa pas deh...sate-satenya 2.500,-an, kok jadi mahalan satenya?
Makan disini boleh angkat kaki (kalo gak tau malu), keringet-keringet sedikit, sambil dengerin musik keroncong live yang dimainkan beberapa bapak-bapak diluar warungnya, segeeeer deh pokoknya! Sekitar jam 2:30 siang kami disana, bapak-bapak pemain keroncongnya masuk ke warung dan makan siang juga. Itu tandanya warung itu sudah gak terima pelanggan lagi, alias sudah ludes dagangannya. So, be careful ya...! Hehe...

Sampai kota Salatiga, kami langsung aja cari penginapan referensi backpackers yang sering kesana; Hotel Maya di jl. Kartini, Salatiga.
Dapat room dengan harga no. 2 termahal di hotel itu, Rp 120 rb double bed tanpa AC (katanya Salatiga kan sudah dingin). Kamarnya range antara 70 rb sampai 140 rb.
Suasananya lebih mirip resort dibandingkan hotel, karena beberapa bangunan terpencar-pencar. Halamannya luas, dan ada kolam renangnya lho...lumayanlah.
Malam harinya, kami keliling kota Salatiga, jam 7 malam kok udah sepi..?!
Mampir juga ke "Lumayan Bakery" dibelakang mall Ramayana, roti dan kuenya enak-enak dan murah. Juga ada aneka oleh-oleh khas Salatiga, dan ada abon sapi buatan mereka sendiri.
Oya, kami malam itu makan di "Bakso Planet" jl. Raya Sukowati, rasanya memang maknyus deh, gak tau apa karena terbawa suasana Salatiga atau lagi laper beneran...
Pulang beli oleh-oleh dan makan malam, balik menuju hotel, kok jadi pengen tau mengenai Kopeng ya...
Sehubungan kalau siang, kelihatan Kopeng dari kota Salatiga dilereng gunung Merbabu, sepertinya asyik...
Eh, sekitar 15 km kesana menyusuri jalan yang terus mendaki, naik..naik...kok gak ketemu peaknya ya? Tadinya kami pikir bakalan ketemu peak viewpoint yang bisa melihat kota Salatiga diwaktu malam, kok gak ketemu-ketemu? Malah lihat petunjuk dijalan, anda sudah memasuki wilayah Magelang katanya, walah...putar baliklah ke hotel lagi, nonton bola piala dunia Brazil vs Belanda. Brazil keok!



Hotel Maya, di jl. Kartini - Salatiga

Satu malam menginap di Salatiga, esoknya petualangan kami lanjutkan. Tujuan berikutnya adalah Wonosobo sambil mampir di Rawa Pening dan museum kereta api Ambarawa.
Dari Salatiga ke Rawa Pening jangan lewat jalan besar yang menuju Semarang, tapi tanya aja orang sana, jalan yang kearah Rawa Pening, yang tembusnya adalah kota Ambarawa.
Kalau mau wisata ke danau Rawa Pening, stopping pointnya di obyek wisata "Bukit Cinta". Tiket masuk Rp 3 rb saja. Kami cuma dikenakan biaya Rp 10 rb, ber-4 dan mobil. Tapi pas pulangnya, ada lagi yang memungut biaya parkir mobil, yah begitulah...
Dari Bukit Cinta inilah kita bisa menyewa perahu untuk keliling danau. Tarifnya sudah dipatok Rp 30 rb per perahu, gak bisa ditawar-tawar lagi. Ya udah, kami ke tengah danau naik perahu, menabrak apungan eceng gondok yang sangat merajalela di Rawa Pening itu. Shot sana shot sini, sayang cuacanya kurang mendukung, grey dan flat sekali.
Oya, kalau kesini jangan lupa beli wader goreng. Itu berupa ikan-ikan kecil yang digoreng kering jadi seperti kerupuk renyah. Sekilonya Rp 60 rb. Kami beli 1/4 kg saja, 15 rb.
Dicemilin di mobil, eh kok anak-anak pada doyan, belum sampai Ambarawa sudah hampir habis setengahnya. Yah, terpaksa putar balik lagi ke tempat itu beli Wader goreng lagi. Ditawar, eh dapat 50 rb sekilonya. Bungkus deh...

Memasuki obyek wisata Bukit Cinta, ada bangunan ular naga yang mengelilingi kawasan itu.




Perahu membawa batang eceng gondok untuk diolah menjadi kerajinan tangan.



Rawa Pening.
Sewa perahu Rp 30 rb, keliling danau kurang lebih 45 menit.

Dari obyek wisata Bukit Cinta ke museum kereta api Ambarawa jaraknya kira-kira 10 km.
Begitu memasuki kota, langsung ada petunjuknya "Museum Kereta Api Ambarawa".
Karcis ke museum Rp 3 rb untuk dewasa, dan 2 rb untuk anak-anak.
Ekspektasi saya sangat tinggi menuju ketempat ini. Konon katanya ada kereta api lawas yang masih beroperasi dengan trek yang mendaki gunung dengan pemandangan yang luar biasa indah. Memang katanya, sekarang ini hanya dioperasikan pada waktu-waktu tertentu saja. Tapi saya berharap dimasa-masa liburan sekolah seperti ini, kereta itu akan beroperasi.
Tapi harap tinggal harap, nyatanya kecewa. Yang ada cuma kereta-keretaan wisata seperti di kebun binatang Ragunan saja bentuknya. Memang dia berjalan di rail track beneran bukan di jalan raya. Ada sekelompok turis bule yang naik kereta wisata itu, raut mukanya gak jauh dari kernyitan dahi saya, tapi mereka sepertinya pasrah saja dan menjadi tontonan turis lokal dan anak-anak sekolah yang lagi berlibur yang berebut naik kereta itu. Cukup bayar Rp 10 rb diatas untuk naik kereta itu...
Akhirnya, kami langsung balik kemobil dan tancap gas ke arah Wonosobo - Dieng.
Untungnya tadi sudah sempat keliling-keliling museum dan jepret sana-jepret sini di koleksi kereta apinya. Si Lukas excited banget di sana...




Kereta Wisata di museum kereta api Ambarawa

Suasana peron di museum kereta api Ambarawa.


4 comments:

balog said...

bagoess semua ditangan ahlinya, selamat bang, serasa saya ikut tur kali ini, apalagi foto-foto nya, wah kelas dunia, saya suka sekali.
salam
balog

papilukas said...

Ah, pak Balog bisa aja...
Saya cuma sekedar hobby travelling dan foto2 aja kok pak.
Juga senang menulis apa saja kalau lagi mood.
Senang bisa berbagi pengalaman disini, apalagi kalau pembacanya bisa ikut merasakan petualangan perjalanan kami seperti pak Balog...
Salam,

Asia Hotels Review said...

Di Ambarawa nggak naik keretanya ya pak? Tapi memang harus rombongan sih

Traveller said...

Mantaff .. infonya membantu biar nggak tersesat di kampung org ..thanks papi Lukas