Cerita di Warung Soto: Subprime, Subprim, Supri dan Supir (1)
WHAT THEY SAID…
Buy land, they’re not making it anymore- Mark Twain -
—–oOo—–
Di dekat toko istri saya ada sebuah warung soto betawi. Karena sedikitnya alternatif makanan lain di daerah itu, saya lumayan sering makan di
Supir: Pri, gak salah nih soto lu naik harga?
Supri: Yah, gimana dong? Harga belanjaan naik terus, mas. Daging naik, santan naik, semua naik.
Supir: Ah, tambah susah aja hidup. Heran, orang amerika yang subprim, kita yang ketiban sialnya ya.
Butuh beberapa detik sebelum saya sadar bahwa subprim yang diomongin mas supir itu adalah Subprime Mortgage di Amerika. Ketika itu saya lalu berpikir “Hebat ya subprime mortgage Amerika, bisa sampai menjadi topik pembicaraan berbagai lapisan masyarakat di
—–oOo—–
Meskipun boleh dikatakan semua orang sudah pernah mendengar tentang krisis Subprime Mortgage, kebanyakan orang hanya tahu bahwa “Amerika sedang krisis properti subprime” tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika ditanyakan apakah mereka tahu “jalan cerita” sebenarnya dari krisis Subprime ini, kemungkinan banyak yang hanya bisa menggelengkan kepala.
Kalau saya ditanya apa penyebab krisis subprime, mungkin salah satu yang akan saya salahkan adalah pola pikir yang seperti saya quote dari Mark Twain di atas. Mirip dengan Mark Twain, banyak orang yang memegang mantra “beli properti tidak mungkin rugi”. Tentunya ini tidak benar karena salah satu hukum dasar investasi adalah bahwa setiap investasi pasti mengandung resiko, dan investasi properti pun tidak bisa lepas dari hukum ini.
—–oOo—–
Untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di Amerika, kita harus kembali ke tahun 2001. Pada saat itu, the Fed (Bank Sentral
Dalam ekonomi, penurunan suku bunga, pada umumnya akan membantu pertumbuhan ekonomi. Mengapa begitu? Ini karena:
- Minat menabung turun
Karena bunga tabungan turun, akibatnya minat orang untuk menabung menjadi rendah. Mereka akan berpikir “ah, menabung juga bunganya kecil, lebih baik uangnya saya pakai untuk yg lain (investasi atau juga konsumsi)“. Mengalirnya uang dari tabungan masyarakat ke investasi dan juga konsumsi akan mendorong belanja masyarakat yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
- Minat untuk mengambil pinjaman/kredit bertambah
Turunnya suku bunga kredit/pinjaman membuat perusahaan maupun individu lebih banyak mengambil pinjaman/kredit dari bank. Perusahaan perusahaan akan bisa mengambil pinjaman dari bank untuk ekspansi usaha mereka, karena bunga pinjaman rendah sehingga tidak membebani operasi perusahaan. Orang-orang juga akan lebih berani mengambil dan memakai kredit konsumsi, spt misalnya kredit kendaraan bermotor dan bunga kartu kredit. Belanja masyarakat (dengan kredit konsumsi ini) ditambah dengan ekspansi oleh perusahaan akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
—–oOo—–
Kedua dampak yang saya sebutkan di atas terjadi juga dalam ekonomi Amerika. Tingkat suku bunga yg amat rendah saat itu (1% dan merupakan tingkat terendah sepanjang sejarah Amerika), menyebabkan tingkat bunga untuk Mortgage (kalau kita di Indonesia menyebutnya KPR), menjadi sangat rendah juga. Orang-orang menjadi tertarik untuk membeli rumah dengan KPR, baik untuk dipakai sendiri ataupun untuk investasi.
Perusahaan pengembang properti pun bisa mendapatkan akses pinjaman murah dari bank untuk mengembangkan usahanya. Hal ini mempermudah mereka untuk berekspansi. Perlu kita ingat, dalam sektor properti, pembuatan produknya memerlukan waktu yang cukup lama, karena konstruksi memerlukan waktu yg relatif panjang (cuma orang Indonesia yg bisa bikin 999 candi dalam 1 malam). Akibatnya, minat masyarakat amerika untuk membeli rumah yg begitu tinggi (krn bunga KPR yg rendah), tidak bisa diserap sepenuhnya oleh perusahaan pengembang properti, sehingga harga properti naik.
Kenaikan harga properti semakin meningkatkan minat masyarakat amerika untuk membeli properti, yg kemudian semakin meningkatkan harganya. Siklus ini pun berulang-ulang sehingga mendongkrak harga properti secara drastis.
Perlu kita ketahui bahwa masyarakat Amerika adalah salah satu yang paling konsumtif di dunia ini. Sebagai contoh, tingkat tabungan mereka pd thn 2005 adalah MINUS 0,5% dari pendapatan mereka. Artinya, konsumsi mereka malahan lebih besar daripada pendapatan mereka. Kenaikan harga properti yang terjadi pada masa ini lalu dimanfaatkan oleh masyarakat Amerika sebagai tambahan “income”. Bagaimana caranya?
Mereka melakukan sesuatu yg disebut “re-financing”.
Dengan re-financing, meskipun sebenarnya rumah itu belum mereka jual (krn mereka berharap harganya masih akan terus naik), tetapi kenaikan harga ini sudah mereka “nikmati”, dengan cara mengambil pinjaman tambahan dengan jaminan rumah yg sama. Uang ini mereka pakai, baik untuk konsumsi maupun untuk investasi kembali di properti yang lain karena tergiur kenaikan harga properti yg drastis. Ujung-ujungnya ini membuat harga properti semakin ‘menggila’
—–oOo—–
Pada masa itu juga, di dunia finansial terjadi beberapa perkembangan yang akan ikut memberikan “sumbangan” terhadap krisis Subprime Mortgage.
Perkembangan yang pertama adalah berlomba-lombanya institusi keuangan dalam menawarkan kredit KPR demi mengejar keuntungan. Bagi institusi keuangan, mengucurkan KPR memang sangat menarik, karena jangka waktu pinjaman yg relatif panjang (bisa mendapat bunga utk periode yg lebih lama), serta adanya jaminan berupa rumah. Tetapi seiring waktu, dalam prakteknya mulai timbul beberapa ekses buruk.
Dalam rangka menjaring customer yg lebih banyak dan keuntungan yg lebih tinggi, mereka mulai menerima prospek yg sebenarnya secara finansial kurang mampu, dan tidak layak untuk mengambil KPR (misalnya penghasilan kecil dan tidak tetap). Tetapi institusi keuangan pada saat itu tidak berkeberatan, karena mereka tetap mempunyai jaminan rumah, dan berasumsi pasar properti akan naik terus.
Perkembangan kedua yang terjadi adalah semakin populernya sejenis KPR yg disebut ARM (Adjustable Rate Mortgage). Dalam rangka menarik customer agar mengambil KPR, institusi keuangan mengembangkan ARM, yg pada intinya adalah KPR dimana tingkat suku bunganya dalam 2-3 tahun pertama sangat murah, tetapi pada tahun selanjutnya akan naik lebih tinggi daripada KPR biasa.
Banyak konsumen sektor properti yang lalu tertarik untuk mengambil KPR jenis ARM ini karena tergiur bunga awal yg sangat rendah. Pertimbangan tambahan mereka adalah, sebelum masa 2-3 tahun itu habis, pasar properti pasti sudah naik lagi, dan properti itu sudah akan mereka jual ataupun mereka bisa melakukan “refinancing” lagi dengan mengandalkan kenaikan harga itu.
Perkembangan ketiga yang terjadi adalah adalah maraknya pasar CDO. Karena pasar KPR yg begitu aktif dan berkembang, institusi keuangan pun agak “kewalahan” untuk mengumpulkan dana yg bisa dipakai untuk memberikan KPR. Apa jalan keluarnya? Mereka pun mengembangkan produk yg namanya CDO (Collateralized Debt Obligation). Apa sih CDO ini? Secara sederhana, CDO adalah obligasi. Dasar dari penerbitan obligasi CDO ini adalah KPR yg telah dikucurkan oleh bank ataupun institusi keuangan lainnya. Bunga yang dipakai untuk membayar bunga obligasi CDO adalah bunga yang mereka dapat dari kredit KPR yang telah mereka kucurkan.
Dana yg didapat oleh institusi keuangan dari hasil penjualan obligasi CDO ini, lalu mereka kucurkan lagi utk memberikan KPR, yang lalu mereka pakai untuk menerbitkan obligasi CDO lagi. Siklus ini kemudian juga terjadi berulang-ulang.
Sampai titik ini, kita telah melihat latar belakang dari berbagai kejadian yang kemudian akan menimbulkan krisis di saat ini. Bagaimana berbagai kejadian di atas saling “berkombinasi” sehingga menimbulkan cerita “horor” krisis Subprime Mortgage akan saya ceritakan di bagian ke-2 dari seri post ini.
—–oOo—–
Cerita di Warung Soto: Subprime, Subprim, Supri dan Supir (2)
Sebelum melanjutkan cerita subprime, saya ingin menulis sedikit dulu tentang inflasi. Inflasi, bagi yang kurang familiar dengan istilah ini, adalah tingkat kenaikan harga-harga secara umum dalam suatu perekonomian. Dalam setiap ekonomi, menjaga tingkat inflasi merupakan sesuatu yg amat penting. Mengapa? Kita lihat sebuah ilustrasi sederhana. Misalnya gaji kita tahun lalu naik 20%. Wah..lumayan
Tingkat inflasi yang tinggi merupakan momok bagi setiap negara sehingga setiap negara pasti berusaha untuk mengendalikan inflasinya. Kita telah melihat dalam post sebelumnya bahwa pemerintah bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan suku bunga. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara umum akan menimbulkan inflasi yang tinggi pula. Oleh karena itu, untuk mengendalikan tingkat inflasi, tentunya suku bunga harus dinaikkan. Dalam kaitannya dengan mengontrol tingkat inflasi inilah, sekitar tahun 2004, pemerintah Amerika (dalam hal ini The Fed) pelan pelan mulai menaikkan tingkat suku bunga.
—–oOo—–
Seiring dengan dinaikkannya tingkat suku bunga oleh The Fed, perlahan-lahan tingkat suku bunga Mortgage/KPR (yg kita bicarakan dalam bagian 1 artikel ini) mulai naik juga. Cicilan yang harus dibayar oleh para pengambil KPR pun mulai bergerak naik. Para pemilik rumah yang masih terikat KPR-nya mulai ‘kelimpungan’.
Di bagian 1 artikel ini, saya telah bercerita tentang bank-bank yang dalam mengejar customer mulai tidak selektif, dan memberikan KPR kepada orang-orang yg sebenarnya secara finansial tidak layak untuk mengambil KPR. KPR yang dikucurkan kepada customer semacam inilah yang dikenal sebagai Subprime Mortgage (KPR Subprime). Kualitas dari kredit KPR yang diberikan kepada customer semacam ini sangat meragukan dan beresiko, karena kemampuan pengambil KPR itu untuk membayar cicilannya sangat lemah. Meskipun demikian, bank-bank mau mengambil resiko dan mengucurkan kredit kepada segmen market ini karena tingkat bunga yang bisa mereka kenakan lebih tinggi (untungnya lebih besar).
Dalam kondisi suku bunga KPR yang mulai naik seperti saya ceritakan di atas, maka yg pertama tama ‘tumbang’ tentu saja adalah golongan ini. Orang-orang yg secara finansial tidak mampu mengambil KPR, begitu timbul “guncangan” pastinya langsung sulit/mustahil untuk membayar cicilan KPRnya. Lalu berikutnya apa yg terjadi? Rumah mereka kena sita dan dilelang ke pasar properti.
Di lain sisi, para pengembang properti yang terbuai oleh pertumbuhan pasar properti sudah terlanjur membangun properti dalam jumlah yg besar. Tingkat suku bunga yang mulai naik membuat calon pembeli mulai berkurang (karena untuk mengajukan KPR baru mulai mahal). Kombinasi dari properti baru yang belum terjual dan properti lama yang disita bank dan dilempar ke pasar, membuat pasar properti mulai ‘kembung’ karena banyaknya properti yang tidak terjual. Akibatnya harga properti pun pelan-pelan mulai turun.
—–oOo—–
Turunnya harga properti ini lalu membawa satu efek yang mengerikan. Orang-orang yang masih terikat KPR sekarang mengalami dilema. Di satu sisi, beban cicilan hutang mereka kepada bank semakin besar (karena bunga naik), di lain sisi rumah mereka nilainya makin turun. Akibatnya mulai banyak timbul kasus dimana hutang KPR seseorang kepada bank itu jumlahnya lebih besar daripada nilai rumahnya sekarang. Misalnya saja hutang KPR-nya masih senilai 600 juta, tetapi harga pasar rumahnya sekarang tinggal 400 juta akibat pasar properti yang hancur. Apa akibatnya? Mulai banyak orang-orang yang berpikir “mendingan gak usah bayar sama sekali deh, daripada saya bayar 600 juta buat rumah seharga 400 juta...”. Orang-orang ini pun tidak mempunyai insentif/motivasi untuk membayar cicilan KPR-nya, karena memang “secara ekonomi” tidak masuk akal jika kita membayar 600 juta untuk suatu barang harga 400 juta.
Apa yang terjadi kemudian? Orang-orang di atas tidak membayar KPR-nya, rumah disita oleh bank, dan lalu kembali dilemparkan kembali ke pasar. Timbul gelombang kedua banjir properti. Jumlah properti yang belum terjual semakin banyak, dan harga semakin turun. Kini calon pembeli properti pun mulai memilih untuk “wait & see”. Mereka berpikir “wah..harga properti turun terus, daripada saya beli nanti harganya turun, mendingan saya tunda dulu deh beli rumahnya. Apalagi sekarang KPR gak semurah dulu lagi, mending hati-hati“.
Di satu sisi, supply rumah yang dijual semakin banyak, sedangkan di sisi lain demand/pembeli semakin berkurang. Pasar properti pun semakin ‘megap megap’, penurunan harga semakin cepat. Siklus yg menyakitkan di atas pun berulang, semakin lama semakin cepat, persis seperti bola salju menggelinding turun gunung seperti yang sering kita lihat di kartun (Snowball effect).
—–oOo—–
Dalam keadaan pasar properti yang sudah sempoyongan seperti ini, muncul lagi sebuah BOGEM yg memukul dengan keras. Apa itu? Ingatkah bahwa di part 1, saya ada bercerita tentang ARM (Adjustable Rate Mortgage) yang suku bunganya untuk 2-3 thn pertama amat sangat rendah, tetapi setelah masa itu bunganya “rasanya nendang”? (seperti satu iklan di TV).
Pada akhir tahun 2005/awal tahun 2006, KPR ARM yg sudah diambil masyarakat
Begitu parahnya kondisi di atas dan begitu banyaknya rumah yg disita (foreclosed), sampai sampai di
Meletusnya bubble di sektor properti ini sendiri tidak berakhir di sini, melainkan lalu menyebabkan pecahnya bubble lainnya, yaitu bubble derivatif yang kemudian menimbulkan Credit Crisis (Krisis Kredit). Untuk cerita mengenai Krisis Kredit ini, akan saya ceritakan di lain kesempatan.
Krisis Kredit Amerika, Kisah Kegagalan Sektor Finansial (3)
Di dalam part 2, saya telah bercerita tentang CDO (Collateralized Debt Obligation) dan ‘matinya’ pasar CDO. Kematian pasar CDO (karena tidak ada pembeli) membuat harga pasar CDO merosot jauh. Merosotnya harga pasar CDO ini lalu memaksa berbagai perusahaan finansial melakukan penyesuaian nilai assetnya (writedown).Nilai asset yang menurun ini membuat ketahanan modal perusahaan-perusahaan itu terganggu. Mereka pun terpaksa memperkuat permodalan mereka dengan menerbitkan obligasi ataupun juga menerbitkan saham baru. Tumbangnya perusahaan seukuran Bear Sterns seakan menimbulkan trauma bagi para perusahaan tersebut. Mereka pun menjadi sangat enggan untuk mengucurkan kredit, bukan hanya kepada masyarakat, tetapi juga kepada sesama perusahaan finasial karena khawatir akan kondisi ketahanan modal mereka.
Keengganan para perusahaan finansial untuk mengucurkan kredit sangat meresahkan pemerintah USA. Agar bisa berjalan dan tumbuh dengan baik, dunia usaha membutuhkan akses ke fasilitas kredit. Tanpa adanya aliran kredit yang lancar dalam perekonomian, dunia usaha akan sulit berkembang bahkan tidak sedikit perusahaan yang akan berguguran. Dengan keadaan sektor properti saat ini yang dalam keadaan ‘koma’, tentunya pemerintah USA tidak ingin ada sektor lain dalam perekonomian yang rontok lagi.
—–oOo—–
Untuk mencegah ’skenario mimpi buruk’ di atas terjadi, bank Sentral Amerika lalu membuat sebuah paket program penyelamatan sektor finansial, yang tujuannya adalah untuk mendorong bank-bank lebih berani mengucurkan kredit dan juga meminjamkan dana antar sesamanya. Berbagai fasilitas pinjaman lalu ditawarkan kepada para perusahaan finansial itu.
Salah satu dari program penyelamatan yang ditawarkan oleh pemerintah
—–oOo—–
Lalu apakah tujuan dari paket penyelamatan pemerintah
Dari pengamatan di lapangan, sepertinya sampai saat ini program pemerintah tersebut belum menampakkan hasil.
Sebagai contoh, baru baru ini saya membaca artikel tentang bunga KPR tempo 30 tahun di USA. Di minggu ini, rata-rata bunga KPR utk tempo 30 tahun adalah 6,52%. Ini relatif tidak berubah dibandingkan dengan kondisi tahun lalu, dimana nilainya adalah 6,59%. Padahal, dalam 1 tahun ini, the Fed (bank Sentral Amerika) telah menurunkan suku bunga Fed Rate dari 5,25% hingga menjadi 2%. Seharusnya dengan turunnya Fed Rate, bunga KPR ini juga ikut turun, tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Penyebabnya tiada lain adalah karena keengganan/ketakutan para lembaga finansial untuk mengucurkan kredit. Akibatnya mereka meminta bunga yang tinggi untuk kreditnya.
—–oOo—–
Ketakutan para lembaga finansial untuk mengucurkan kredit juga bisa dilihat dari tingkat suku bunga Municipal Bonds. Apa itu Municipal Bonds? Di Amerika, berbagai instansi pemerintah dan juga pemerintah daerah dapat menerbitkan obligasi untuk memenuhi kebutuhan dananya. Sebagai ilustrasi, mungkin kita bisa ibaratkan jika seandainya PEMDA
Berdasarkan satu artikel yang saya baca, pada saat ini tingkat suku bunga Municipal Bonds di saat ini malah naik. Padahal sama seperti KPR, dengan turunnya suku bunga Fed Rate, seharusnya suku bunga utk Municipal Bonds ini juga ikut turun.
Satu artikel lain yang saya baca juga memberikan sinyal yang sama, di mana artikel ini meliput tentang kondisi pasar Commercial Paper (semacam surat hutang jangka pendek) yang menciut hingga 40% dari titik puncaknya di bulan July 2007. Menciutnya pasar Commercial Paper ini tidak disebabkan oleh keengganan para perusahaan finansial untuk meminjamkan dana di antara sesamanya.
—–oOo—–
Lalu apa dampak dari kondisi Krisis Kredit ini (Credit Crunch) bagi para Investor? Dampak yang paling jelas tentunya adalah kepada beban hutang yang ditanggung masyarakat. Meskipun suku bunga Fed Rate telah turun, penurunan bunga ini tidak bisa ‘dinikmati’ oleh masyarakat karena bunga yang dikenakan kepada mereka tetap tinggi. Dalam keadaan normal, seharusnya penurunan suku bunga yg begitu drastis oleh the Fed bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi akibat krisis kredit, dampak penurunan suku bunga itu ‘terhenti’ di sektor finansial dan tidak mencapai sektor perekonomian lainnya.
Satu hal yang perlu dipertimbangkan juga adalah skenario dimana di kemudian hari the Fed harus menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi. Jika ini terjadi sewaktu krisis kredit belum mereda, maka beban bunga yg dirasakan oleh masyarakat juga akan semakin tinggi dari saat ini, sehingga perekonomian akan semakin melambat.
—–oOo—–
Krisis Kredit Amerika, Kisah Kegagalan Sektor Finansial (4)
Ketika saya menulis part 3 artikel seri ini, korban terakhir dari krisis Finansial adalah perusahaan finansial Bear Sterns. Waktu itu saya lalu berniat untuk menulis part 4 ini setelah ada perkembangan lebih lanjut yang sangat signifikan. Ternyata hanya dalam dua bulan sejak part 3 saya tulis, semakin banyak nama-nama besar di dunia finansial yang bertumbangan. Walaupun begitu, saya masih belum terlalu terpikir untuk melanjutkan artikel seri ini, karena beritanya masih relatif sama, yaitu perusahaan finansial tumbang.
Meskipun demikian, dalam satu minggu terakhir, saya membaca beberapa berita ‘seram‘ yang membuat saya berpikir ‘Mungkin sudah saatnya saya meneruskan cerita tentang krisis kredit‘. Meskipun demikian, mungkin kini judul yang tepat bukanlah ‘Krisis Kredit Amerika’ lagi, melainkan Krisis Kredit Global’.
—–oOo—–
Berita ’seram’ pertama yang mungkin terlewatkan dari ‘radar’ kebanyakan orang adalah berita mengenai keadaan di 2 negara bagian Amerika, yaitu Massachusetts dan California. Pengaruh krisis kredit telah begitu meluas dan dampaknya pun terasa ke sektor pemerintahan. Kedua negara bagian tersebut kini mengalami kesulitan keuangan untuk membayar berbagai pengeluaran rutinnya (spt gaji guru, polisi, pemadam kebakaran, dll).
Gubernur California, Arnold Schwarzenegger, beberapa hari lalu menulis surat kepada Departemen Keuangan USA bahwa negara bagiannya mungkin membutuhkan pinjaman lunak darurat sebesar kira-kira US$7 Milyar. Tidak lama kemudian, Bendahara negara bagian Massachusetts pun menyatakan kemungkinan membutuhkan pinjaman lunak untuk menutupi defisit anggarannya.
Dalam kondisi normal, negara bagian USA yang membutuhkan dana bisa dengan mudah mendapatkan dana tersebut dengan menerbitkan obligasi sendiri, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Tetapi dalam krisis kredit saat ini, ‘jalan’ ini bisa dikatakan tertutup. Mengapa demikian? Ini karena setelah tumbangnya berbagai lembaga finansial, berbagai perusahaan finansial yang tersisa mengalami ‘trauma’ untuk meminjamkan uang kepada pihak lain. Uang yang mereka miliki akan mereka ‘pegang erat-erat’ untuk berjaga-jaga.
Sebagai ilustrasi, kondisi ini mungkin bisa kita ibaratkan seandainya kita adalah pemilik toko sembako dan lalu terjadi kelaparan yang sangat parah yang entah kapan akan berakhir. Dalam kondisi ini, seandainya kita mengalami kesulitan mendapatkan pasokan sembako, kita mungkin akan enggan untuk menjual barang dagangan kita dan memilih menyimpannya utk konsumsi keluarga kita sendiri. Singkatnya, kondisi saat ini bisa dikatakan dalam bahasa gaul ‘Elu elu, Gue gue, jaga diri masing-masing‘.
Sulitnya mendapatkan dana dari sektor finansial memaksa para gubernur negara bagian tersebut kini berpaling kepada pemerintah pusat untuk meminta bantuan. Meskipun demikian, belum ada kabar bagaimana jawaban pemerintah pusat terhadap permohonan bantuan pinjaman ini.
Lalu apa yang akan terjadi seandainya bantuan pinjaman ini tidak diberikan ketika para negara bagian itu membutuhkannya? Tentunya negara-negara bagian tersebut tidak bisa membayar para pegawainya (polisi, guru, dll). Proyek-proyek pembangunan akan dikurangi sebagian. Ini semua akan berpengaruh negatif kepada ekonomi yang saat ini sudah ditimpa berbagai masalah lain.
Saya sendiri merasa bahwa perkembangan dari berita ini akan menarik untuk diikuti, terlebih setelah disetujuinya program Bailout terhadap sektor finansial. Jika sektor finansial bisa mendapatkan pertolongan bailout sedangkan negara bagian tidak, bisa diperkirakan akan timbul reaksi yang keras dari masyarakat Amerika. Tetapi jika satu negara bagian diberikan pertolongan, maka ada kemungkinan negara bagian lain juga akan ‘antri’ meminta bantuan dari Depkeu. Ini akan semakin menambah besar beban pemerintah pusat yang sudah harus mengeluarkan uang banyak untuk program Bailout.
—–oOo—–
Berita ‘seram‘ lainnya yang membuat saya merasa harus menulis artikel ini terkait dengan satu negara kecil di Eropa, yaitu Islandia. Perdana Menteri Islandia, dalam satu keterangan pers mengucapkan suatu kalimat yang menimbulkan kehebohan, ‘Islandia terancam bangkrut nasional‘.
Penyebab timbulnya komentar yang mengagetkan ini tidak lain lagi-lagi adalah krisis kredit.
Sama seperti negara lainnya, krisis kredit juga menimpa bank-bank di Islandia. Selama masa booming beberapa tahun terakhir, berbagai bank di Islandia melakukan ekspansi besar-besaran. Begitu hebatnya ekspansi ini, hingga kini hutang di sektor perbankan negara itu mencapai US$100 Milyar, jauh di atas Produk Domestik Bruto Nasionalnya yang cuma US$14 Milyar.
Ketika krisis kredit mulai menyebar, bank-bank tersebut pun mulai sulit mendapatkan pinjaman. Pemerintah Islandia pun mengalami kesulitan yang besar untuk menolong bank-bank tersebut karena ukurannya yang terlalu besar dibandingkan dengan negaranya. Bantuan dari luar negeri pun sulit diharapkan karena negara-negara lain juga sedang sibuk memerangi krisis kredit di negara masing-masing.
Kesulitan yang dialami oleh Islandia ini semakin menumpuk karena mata uangnya sudah melemah hingga 40% dalam tahun ini saja. Akibatnya beban hutang yang mereka tanggung semakin besar. Melemahnya mata uang Islandia ini juga mengancam kondisi perekonomian mereka yang sangat tergantung kepada import, karena menimbulkan inflasi tinggi akibat semakin mahalnya barang import. Berita terakhir menyatakan bahwa inflasi di negara ini telah mencapai 14%.
—–oOo—–
2 tahun yang lalu, saya beruntung menemukan sebuah artikel yang membuat saya tersadar akan bahaya bubble properti di Amerika. Tidak lama setelah itu, saya kembali beruntung menemukan sebuah artikel yang menulis tentang betapa berbahayanya bubble di pasar instrumen derivatif seperti CDO, CDS, dll. Oleh karena itu ketika bubble ini akhirnya pecah, saya tidak kaget sama sekali karena memang sudah saya antisipasi sejak lama. Meskipun demikian, tidak pernah sekalipun saya terpikir bahwa krisis kredit saat ini akan sampai bisa menggoyang sebuah negara bagian ataupun negara (sekalipun negara kecil seperti Islandia).
Dengan perkembangan terakhir ini, saya pikir ada baiknya saya kembali mengulangi ‘wanti-wanti’ saya kepada para pembaca blog ini.
Seperti kita ketahui, saat ini mulai terjadi persaingan antar bank untuk memberikan ‘bunga’ yang tinggi untuk deposito, di atas bunga yang dijamin oleh program LPS bahkan di atas bunga dari Obligasi ORI. Tentunya kita perlu mempertanyakan alasan mengapa bank-bank tersebut melakukan hal seperti ini. Umumnya, penyebab utamanya adalah bank-bank tersebut mengalami kesulitan menghimpun dana dari masyarakat dan ada kemungkinan keadaan keuangannya agak ‘ketat’.
Jika bank-bank tersebut mengalami ‘masalah’, tentunya akan beresiko terhadap nasib uang yang kita tempatkan di bank itu, karena sudah tidak termasuk program penjaminan LPS. Pertimbangkan masak-masak sebelum teman-teman menempatkan uang di sana. Ingatlah bahwa tabungan dan deposito bukanlah tempat mencari hasil yang tinggi. Ingatlah bahwa fungsi utama dari instrumen tabungan dan deposito adalah keamanan dan likuiditas. Jangan sampai karena tergiur bunga lebih tinggi 1%-2% (per tahun), akhirnya menyesal karena timbul masalah yang tidak diinginkan.
Disadur dari http://janganserakah.com
No comments:
Post a Comment