Thursday, July 17, 2008

Fugu Sashimi

"Tell me what you eat, and I will tell you what you are" - Brillat- Savarin.

Sebenarnya sudah agak lama saya kepingin makan ikan Fugu, tapi susah sekali mencari teman yang mau nekat ambil resiko setor nyawa untuk mencicipi hidangan "fear factor" ini. Apalagi seporsi Fugu Sashimi biasanya dibandrol dengan harga yang bisa bikin merinding. Lengkap deh. Sudah mahal, nyawa pun bisa melayang. Mana ada yang mau mencoba makanan seperti ini. Ternyata ada lho! Didiet dan Devi adalah dua dari sedikit orang di Jakarta yang urat takutnya mungkin tidak berkembang dengan baik sejak lahir. Mereka berdua bisa makan hidangan ikan Fugu semeja (yes, bukan sepiring, tapi semeja!) tanpa berkedip. Habis tandas pula! Dan entah karena saking sayangnya sama saya atau memang ngajak "I jump, you jump", mereka mengajak saya untuk mencicipi Fugu Sashimi di sebuah restoran di Jakarta yang kata mereka murah. Nah, kalau kombinasi antara "fear factor" dan mahal membuat saya ogah mencoba, mungkin kalau faktor mahalnya hilang, lantas saya mau mencoba - mungkin begitu pikir mereka. Entah jurig apa yang sedang ada dalam kepala saya hari itu, kok ya saya mau-maunya ikut mereka. Tapi saya sudah siap-siap dulu lho! Sebelum pergi, Didiet sudah saya interograsi dulu yang kalau ditranskrip kira-kira bakal jadi begini:

"Aman gak nih?" Tanya saya "Aman! Nah ini gua masih hidup!"
"Chef-nya ada sertifikatnya ngga?" Saya masih ngga yakin "Ada! Dan 3 menit pertama dia bakal merhatiin kita. Jadi kalo ada apa- apa mereka bisa kasih antidote-nya"
"Enak nggak?" "Wah, endang bambang gulindang guling gulingan!" Didiet meyakinkan saya. Dia tahu saya saya sudah masuk perangkap...

***

Buat Anda yg belum tahu, Fugu adalah istilah bahasa Jepang untuk ikan Buntal yang kalau kaget atau merasa terancam badannya akan mengembang seperti balon. Para penyelam biasa "menggoda" ikan-ikan ini di dalam air. Mungkin mereka menganggapnya lucu padahal saat badannya mengembang seperti ini, itu tandanya ikan ini sedang stress berat. Ikan ini punya racun yang disebut tetrodotoxin yang berada di dalam kulit, empedu, dan ovaries (indung telur?) nya. Dan sejak dulu ikan ini banyak membunuh orang-orang yang mengkonsumsinya secara gegabah. Di Jepang, ikan ini adalah satu-satunya delicacy yang secara resmi dilarang untuk dikonsumsi oleh Kaisar Jepang. Saking gawatnya ikan ini, pemerintah Jepang mensyaratkan hanya tukang masak yang memiliki lisensi yang boleh memasak dan menjual ikan ini untuk publik. Dan untuk mendapatkan lisensi tersebut, chef tersebut harus lulus tiga tahapan ujian: tes tertulis, fish identification test, tes praktek bagaimana mempersiapkan Fugu. Dan terakhir mereka harus memakan sendiri Fugu buatan mereka! Ikan ini biasanya disajikan sebagai Sashimi, dibuat sup, direbus, atau digoreng. Siripnya juga sering digoreng dan dicelupkan dalam sake hangat. Rasanya? Terus terang saya tidak tertarik untuk membayangkan rasanya.

***

Setelah menerabas macetnya Jakarta di Jumat malam, akhirnya kita sampai juga di restoran kecil tersebut. Di depannya ada neon sign bergambar ikan buntal yang lebih mirip ikan bunting. Dibawah deretan aksara Korea yang tidak saya mengerti, ada tulisan DONG HAE BOK JIB. Karena Didiet sudah menelepon sebelum kita sampai, tidak lama setelah kita duduk datanglah sepiring besar Fugu Sashimi yang diiris setipis kertas sehingga pola dan gambar di piringnya bisa terlihat jelas dari tumpukan daging ikan yang terlihat hampir transparan. Selain itu Devi juga memesan semangkok Mie Dingin yang rasanya cakep banget. Sedangkan saya memesan Ojingo Bokkum - tumis cumi pedas khas Korea. Selain itu saya juga memesan sebotol Bokbunja - raspberry wine buatan Korea yg juga harus diacungi jempol. Terus terang saya menunggu Didiet atau Devi untuk mulai dulu. Meskipun sudah sampai sana, tapi rasa jiper itu masih tetap ada di hati saya. Namun setelah melihat mereka berdua menyantap sashimi itu tanpa berkedip, saya jadi berani juga. Ada dua saus yang disiapkan untuk sashimi ini. Yang pertama adalah saus standar - Shoyu dan Wasabi. Yang kedua disebut Ponzu tapi rasanya jauh lebih gurih dari Ponzu biasa, seperti dicampur dengan chicken powder.

Rasa Fugu sashimi ini terus terang mengecewakan. Hambar! Teksturnya pun agak liat seperti cumi mentah. Tapi setelah dicelup ke saus Ponzu ini, eh, kok ya jadi lumayan. Setelah beberapa teguk Bokbunja, saya mulai merasakan ada rasa-rasa lainnya yang muncul. Gurih? Bukan.....Manis? Ngga juga....ini adalah rasa.....melayang. ....!! Lho...kok jadi melayang begini?????? ??!!!!!!! ??????? Saya mulai curiga. Apa gara-gara wine-nya ya? Ah, mabuk wine ngga begini deh rasanya! Lalu saya mulai iseng tanya dengan pelayan di sana. "Mbak, di sini chef-nya masih orang Jepang?". Eh, tidak lama kemudian Chef-nya muncul dan ternyata orang Indonesia, dan masih muda pula!! Setelah saya tanya, ternyata dia tidak punya lisensi untuk menyajikan Fugu!! Melihat muka saya yang mungkin sudah mulai berubah jadi hijau, chef tersebut berusaha menenangkan saya "Pak, saya sudah ikut Chef aslinya sejak lama. Jadi sudah dilatih sama dia sampai benar-benar mahir..." Entah kenapa perasaan saya tetap tidak tenang juga. Satu-satunya hal yang bisa membuat saya tersenyum malam itu hanyalah pelayan-pelayan (yes, ngga cuma satu orang!) di sini yang latahnya rada-rada saru. Lalu saya - biar lebih tenang - mengajukan pertanyaan paling penting "Kalau sampai ada yang keracunan Fugu, ada obatnya ngga sih". Jawab Chef tersebut "Ya ngga ada dong Pak! Paling dibawa ke Rumah Sakit terdekat. Dan itu pun tidak boleh terlambat. Kalau sampai terlambat ya ....bisa lewat...." Jiangkrik! Rasanya saya pengen mengiris-iris Didiet dan Devi jadi sashimi malam itu. Saya yang merasa tidak tenang langsung minta segera pulang.

Perjalanan Jakarta-Bogor rasanya lamaaa sekali malam itu. Sesampai di rumah, hal pertama yang saya lakukan adalah membuat diri saya muntah sebanyak banyaknya. Lalu kemudian menelan norit dalam dosis yang agak liberal. Setelah beberapa lama, rasa melayangnya sudah agak mereda. Tapi saya yang masih belum tenang mulai googling dan apa yang saya baca ternyata tidak membuat saya merasa lebih baik. Ini info yang saya dapatkan dari google: serangan racun Fugu bisa ditandai dengan rasa pusing, kehilangan tenaga, sakit kepala, pening, mual, dan sulit bernapas (damn!!). Racunnya akan menyerang sistem syaraf yang akan menyebabkan korban kehilangan kontrol akan otot tubuh dan kesulitan bernapas namun korban akan tetap sadar dalam proses melewati tahapan mati pelan-pelan ini (damn! damn!). Dalam kebanyakan kasus, korban akan meninggal dalam waktu 24 jam, dan jika korban bisa melewati fase kritis 24 jam ini, maka kemungkinan besar korban akan tetap hidup. Dan saya tidak berani tidur selama 24 jam berikutnya....

***

Setelah banyak minum air, satu tube norit, dan keinginan untuk balas dendam pada Didiet dan Devi (hehehehehe) . Akhirnya saya bisa melewati 24 jam itu tanpa masalah yang berarti. Tapi rasa khawatir yang berlebihan, ketakutan, dan sport jantung luar biasa yang saya alami malam sebelumnya sungguh tidak mau saya alami lagi. Moral of the story is: know what you eat. Jika saya sudah googling sebelum makan di restoran ini, apalagi kalau saya tahu bahwa chef nya adalah chef lokal, tentu saya tidak perlu paranoid dan sport jantung seperti malam itu. Jika Brillat-Savarin masih hidup dan mendengarkan cerita ini, pasti dia akan bilang begini "Kacian de lu!"

DONG HAE BOK JIB
Jl. Panglima Polim IX no 8
Telp: 7207464, 7252856

Dari milis jalansutra, oleh bpk. Yohan Handoyo
(penggemar dan penulis buku tentang wine)


Fugu (ikan buntal)

image from http://www.trekearth.com/

No comments: