Narsisme adalah perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Istilah ini pertama kali digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud dengan mengambil dari tokoh dalam mitos Yunani, Narcissus, yang dikutuk sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Tanpa sengaja ia menjulurkan tangannya, sehingga ia tenggelam dan tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga narsis.
Sifat narsisisme ada dalam setiap manusia sejak lahir bahkan Andrew Morrison berpendapat bahwa dimilikinya sifat narsisisme dalam jumlah yang cukup akan membuat seseorang memiliki persepsi yang seimbang antara kebutuhannya dalam hubungannya dengan orang lain. Namun apabila jumlahnya berlebihan, dapat menjadi suatu kelainan kepribadian yang bersifat patologis. (Patologi merupakan cabang bidang kedokteran yang berkaitan dengan ciri-ciri dan perkembangan penyakit melalui analisis perubahan fungsi atau keadaan bagian tubuh.
Legenda NarsisusDi kota Thebes hiduplah seorang peramal yang amat terkenal. Tiresias namanya. Ramalannya selalu tepat. Banyak orang datang kepadanya minta ramalan, petunjuk, dan nasihat.
Adalah peri, mempunyai anak laki-laki bernama Narsisus. Peri itu bertanya pada Tiresias, apakah anaknya dapat hidup sampai tua. Peramal itu menjawab, “Bisa, asal ia tidak pernah mengenal dirinya sendiri.”
Sampai lama sekali, ramalan itu seakan-akan tidak mempunyai arti apapun.
Ketika Narsisus berumur enam belas tahun, ia disukai oleh banyak anak muda dan dicintai oleh banyak gadis. Tetapi ia terlalu sombong, tidak mau memperhatikan orang lain.
Sekali peristiwa, ketika ia bersama teman-temannya sedang memburu seekor rusa, peri Ekho melihatnya. Ekho tidak dapat bercakap-cakap, tapi juga tidak dapat berdiam diri kalau ada orang sedang bercakap-cakap. Ia hanya dapat mengucapkan kata-kata terakhir kalimat yang diucapkan orang lain. Ini akibat kutukan Yuno. Konon Yuno sangat marah kepada Ekho, karena Ekho mengajak berbicara terlalu lama untuk mengorek keterangan apa yang sedang dilakukan oleh suami Yuno, Yupiter.
Ketika dilihatnya Narsisus berjalan-jalan di dalam rimba, Ekho jatuh cinta. Dengan sembunyi-sembunyi ia mengikuti jejak Narsisus. Betapa besar keinginannya hendak mengajak berbicara dan membisikkan kata-kata yang lembut ke telinga Narsisus. Tetapi hal itu tidak dapat dilakukannya. Ia tidak mampu berbicara terlebih dahulu. Ia hanya dapat menunggu sampai Narsisus berbicara, lalu mengikuti dengan kata-katanya sendiri.
Pada suatu ketika, Narsisus terpisah dari teman-temannya. Ia pun berseru, “Apakah ada orang di sini?”
Ekho menjawab, “Di sini!”
Narsisus melihat ke sekeliling dengan heran. “Datanglah kemari!” teriaknya.
Sahut Ekho, “Datanglah kemari!”
Sekali lagi Narsisus memandang ke sekeliling dan seorang pun tak ada yang muncul. Ia berseru lagi, “Mengapa engkau menghindari aku?” Sekali lagi kata-kata yang sama terdengar olehnya. Ia berdiri tegak dan berdiam diri, bertanya dalam hati, suara siapakah gerangan itu. Lalu ia berseru, “Mari kita bertemu di sini!”
“Bertemu di sini!” jawab Ekho, lalu keluar dari tempat persembunyiannya, menghampiri Narsisus. Ingin sekali ia berdampingan. Tetapi Narsisus lari, sambil berseru, “Jangan sentuh aku! Lebih baik aku mati sebelum engkau menyentuh aku!”
“Sebelum engkau menyentuh aku!” sahut Ekho. Dan Ekho pun tidak dapat berbicara lebih lanjut.
Cintanya ditolak. Hal itu dirasakannya sebagai penghinaan. Ia bersembunyi di hutan. Ditutupinya wajahnya yang kemerah-merahan karena malu dengan dedaunan. Kemudian ia hidup sendiri di gua-gua. Cintanya tak padam. Bahkan semakin menyala karena ditempa oleh kesedihan. Karena kurang tidur dan dirundung sedih, badannya semakin susut. Ia makin kurus. Semua zat yang mengandung air di dalam tubuhnya menguap ke udara. Hanya tinggal tulang-tulang dan suaranya. Suaranya masih tetap kedengaran. Tulang-tulangnya menurut cerita orang telah berubah menjadi batu. Ia tetap bersembunyi di hutan-hutan dan tidak pernah terlihat lagi di bukit-bukit. Namun semua orang dapat mendengar suaranya. Suaranyalah yang masih hidup.
Bukan Ekho saja yang telah dihina oleh Narsisus. Juga pemuda-pemuda temannya sendiri. Akhirnya salah seorang pemuda yang menderita karena perlakuan Narsisus, berdoa kepada dewa-dewa, “Semoga ia jatuh cinta seperti Ekho, tetapi terhadap dirinya sendiri. Dan semoga ia tidak dapat memperoleh apa yang dicintainya!” Doa itu rupanya didengar juga oleh Dewi Nemesis.
Di tengah-tengah rimba ada sebuah kolam dengan air jernih cemerlang. Tempat itu belum pernah dikunjungi oleh gembala atau ternak yang merumput di bukit-bukit. Tidak pernah ada burung yang datang ke sana. Bahkan ranting patah pun yang jatuh dari pepohonan di sekitarnya tidak pernah mengusik ketenangan permukaan air. Di sekitar kolam itu ada tanah datar berumput yang sejuk.
Datanglah Narsisus ke tempat itu. Ia senang melihat keteduhan di tempat itu, lalu berbaring di tepi kolam. Memandanglah mukanya ke permukaan air yang jernih. Tampak bayangan wajah di dalam air. Dipandangnya dengan penuh keheranan. Ia tertegun memandang mata yang cemerlang, pipi yang lembut, leher yang halus seperti gading, dan wajah yang cantik.
Ia tidak mengetahui bahwa yang dipandangnya itu bayangan wajahnya sendiri. Ia pun jatuh cinta kepada wajahnya yang rupawan itu. Dan wajah di dalam air itu pun memandang kepada Narsisus dengan sepenuh cinta kasih.
Tidak puas-puasnya ia memandang bayangan wajahnya sendiri.
Ia bangkit, merentangkan lengannya lalu berseru kepada pepohonan di sekelilingnya, “O, kalian rimba dan pepohonan! Kalian yang menyaksikan sekian banyak percintaan, adakah orang yang lebih celaka daripada aku? Aku dapat melihat, tetapi tidak dapat menyentuh apa yang aku inginkan. Seakan-akan ada lautan luas yang memisahkan kami berdua. Sebenarnya kami hanya dipisahkan oleh air kolam. Wajahnya selalu memandangku dengan cinta kasih, senantiasa membalas senyumku, bahkan ikut menangis jika aku menangis. Tetapi mengapa ia selalu menghindar dariku?”
Dipandangnya lagi bayangannya sendiri dalam air. Ketika air matanya terjatuh di air, bayangan itu tampak gemetar dan terpecah-pecah.
“Jangan tinggalkan aku!” teriak Narsisus.
Demikianlah ia merana di tepi kolam itu.
Ekho, walaupun marah kepada Narsisus, sangat sedih ketika melihatnya. Kalau Narsisus berseru, “Aduhai!”, Ekho pun mengulangi, “Aduhai!”
Sambil memandang ke permukaan air, Narsisus berkata mesra, “Selamat tinggal, wajah yang aku cintai dengan sia-sia!” Lalu Narsisus meletakkan kepalanya di atas rumput. Maut menutupi matanya yang mengagumi keindahan wajahnya sendiri.
Peri-peri di rimba dan di sungai-sungai berduka cita atas kematiannya, sedang Ekho selalu menjawab tangis peri-peri itu. Mereka menyiapkan penguburannya dengan obor-obor dan timbunan kayu bakar. Tetapi tubuh Narsisus tidak dapat ditemukan, walaupun dicari ke mana-mana. Di tempat tubuhnya terbaring, mereka mendapati sekuntum bunga. Warnanya kuning dikelilingi kelopak-kelopak berwarna putih.
-sumber asli tidak diketahui-