Tanggal 2 Mei lalu ada kumpul-kumpul bareng alumni dan siswa SMP Negeri 139 Jakarta. Undangan di Facebook berkali-kali datang dan saya kok cuek aja sampai ada temen yang SMS kalau ternyata gedung sekolah kami itu akan dibongkar total dalam waktu dekat ini. Wah, jadi inilah kesempatan terakhir kalau mau melihat gedung sekolah yang lama yang masih terpatri dalam ingatan. Ya, masih banyak memori indah yang tertinggal disitu bahkan dibandingkan masa-masa kuliah ataupun SMA. Jadi, saya batalkan semua rencana lain dihari minggu 2 Mei itu, and datang bawa pasukan rumah menyerbu sekolah SMP 139.
Dari rumah Slipi menuju rumah Bokap-Nyokap di jalan Red Rose atau Mawar Merah, Perumnas Klender dan parkir kendaraan disana. Trus jalan kaki menyusuri jalan yang dulu selama 3 tahun saya lalui sehari-hari menuju sekolah. Wah, ternyata sudah banyak sekali yang berubah. Saya memang sudah lama sekali gak keliling daerah sana, hmm...
Sampai didepan gedung sekolah, suasananya terasa sudah berubah. Saya memang hanya dua atau tiga kali saja masuk kesana kembali setelah lulus dari sekolah itu ditahun 1987. Kembali lagi masuk dihalaman sekolah kok kesannya sempit ya...dulu sepertinya luas sekali untuk kami bermain-main disana. Sekilas melihat halaman sekolah yang sudah ramai dengan para alumni hari itu, saya langsung menuju ruang kelas saya yang terakhir dulu, kelas 3A yang letaknya diujung sebelum ruang serba guna tempat saya juga ikut latihan Karate Lemkari dojo SMP 139 dengan guru karate bapak Bilal Daulay yang juga guru Bahasa Inggris kami.
Saya dan pasukan rumah beringsut-ingsut kearah kelas melawan kepadatan pengunjung hari itu. Sampai dipintu kelas, saya terhenyak memandang kedalam melihat situasinya...
Ya, sekolah kami itu memang sudah sangat tidak layak. Sangat menyedihkan!
Saya sangat terluka membayangkan kami sedang belajar atau bermain-main diruangan kelas itu, betapa gembiranya...
Saya meraba-raba dinding kelas, bangku atau kursi yang berdebu, menatap langit-langitnya yang sudah jebol sebagian sehingga terlihat genteng dan kayu-kayunya yang sudah dimakan rayap.
Disitulah dulu kami sama-sama menyanyi satu lagu dipelajaran seni musik dengan ketukan tangan, kaki dilantai, pulpen dikaca, buku ke-meja, dsb menyatu dengan suara nyanyian anak-anak sekelas sehingga menjadi lagu terindah yang pernah saya dengar sepanjang hidup sampai kini.
Saya tidak menyangka kalau saya pernah belajar dikelas yang sudah sedemikian bobrok itu!
Dari kelas 3A, kemudian saya beringsut ke kelas sebelah 3B dan ke kelas-kelas lainnya juga yang kondisinya ternyata tidak jauh berbeda...
Akhirnya ketemu deh dengan sesama alumni angkatan 87 lainnya. Saling bersalaman dan bertegur sapa walaupun sudah tidak tahu lagi nama masing-masing, hehe...
Tapi diantaranya ada yang masih saya kenal. Tidak berapa lama, datang bapak-bapak dengan rambut sudah banyak yang memutih dengan gaya nyentrik yang langsung akrab dengan para alumni. Saya pikir sesama alumni juga, eh ternyata itu adalah bapak Bilal Daulay guru Bahasa Inggris kami dulu dan juga guru karate pemegang sabuk Dan 2 di kegiatan ekstra kurikuler.
Kami langsung akrab dan bercerita memori masing-masing, juga kegiatan-kegiatan apa yang dilakukan sekarang. Ternyata pak Bilal sudah tidak mengajar disitu lagi, beliau sekarang mengajar film disalah satu sekolah film di Jakarta. Wah, kok banting setir begitu jauh pak?
Saya kerja untuk cari duit, dimana yang bisa kasih lebih, saya pilih itu! Begitu seloroh beliau...
Tapi kan di film adalah sesuatu yang lain...harus berjiwa seni?!
Saya tidak suka seni! Film is industry! Mulai deh kita berdebat...
Menurut beliau, sekarang ini mencari uang bisa dari bidang apa saja. Jangan jadi pekerja keras, tetapi jadilah pekerja cerdas!
Pekerja keras hanya dibayar UMR (Upah Minimum Regional), tapi pekerja cerdas bisa menghasilkan pendapatan lebih banyak. Beliau kasih contoh ditempatnya mengajar film, juga dipelajari fotografi (sambil melihat kamera DSLR saya). Yang dipelajari adalah teknologi fotografi terkini dan kegunaannya. Dengan pengetahuan teknologi fotografi bisa dihasilkan output yang diminta klien dan menghasilkan uang. Menurut beliau muridnya belajar fotografi 6 bulan saja sudah banyak yang bisa menghasilkan uang. Coba jadi sarjana, belajar susah payah, setelah lulus juga bekerja susah payah, eh hanya dibayar UMR!
Luar biasa memang bapak guru yang satu ini, kami semua kembali seperti muridnya dulu yang menyimak sambil manggut-manggut terkagum-kagum.
Pak Bilal pengetahuannya memang relatif lebih luas, setelah saya pancing bahwa dulu beliau pernah belajar di Kanada, langsung disambar bahwa beliau 2 tahun di Kanada, kemudian setelah resign dari SMP 139 beliau pernah berkesempatan belajar dan tinggal di Inggris selama 2 tahun, juga selama 4 tahun di Australia. Ya, Beliaulah guru Bahasa Inggris kami dulu...
Setelah pak Bilal pamit, saya melanjutkan diskusi kecil dengan teman-teman disitu mengenai apa yang dikatakan pak Bilal tadi. Ternyata disitu ada dua orang para pekerja seni, Lidya Hakim dan si Yuli.
Yuli bercerita bahwa dia juga pernah melanglang buana ke negara-negara Eropa Timur selama 3 bulan, juga ke Mesir dan lainnya dari pekerjaan menari atau teater seni mewakili Indonesia di dunia internasional. Ya, saya tahu memang cewek yang satu ini menyukai seni teater dari dulu (Yuli dan saya satu sekolah kembali di SMA), dan dia betul-betul terjun kebidang yang disukainya itu.
Saya bilang, kamu beruntung Yul, kesukaanmu - hobi kamu bisa menghasilkan uang dan kepuasan batin, kamu pasti happy...
Saya juga sebetulnya sangat menyukai seni atau design. Tapi saya tidak punya keberanian seperti Yuli, dan memaksakan cita-cita sebagai insinyur yang ternyata betul seperti pak Bilal katakan "harus bekerja keras dan cuma dapat UMR!".
O ya, sebetulnya juga saya sangat senang kalau mengajar lho... jadi dosen dan berinteraksi dengan para mahasiswa.
Seandainya waktu bisa diputar kembali...
Puas mengobrol dengan teman-teman lama, saya lihat dikejauhan ada Mang Karna.
Menghampiri dan ambil fotonya. Mang Karna tidak seperti dulu lagi, minimal sudah berkurang lah, hehe... mungkin karena sudah berumur juga?!
Saya wawancara sedikit ke Mang Karna mengenai nasib sekolah itu nantinya. Menurut beliau, sekolah itu akan dirobohkan tidak lama lagi dan akan dibangun 4 lantai (belakangan dari ibu Fauziah guru bahasa Indonesia kami dulu, saya tahu bahwa sekolah itu harus sudah kosong per tanggal 10 Mei 2010 ini dan dibongkar untuk dibangun kembali).
Mang Karna bercerita bahwa sekolah itu dibangun pada tahun 1977 sampai dengan 1978, dan angkatan pertama yang lulus adalah di tahun 1980. Beliau sendiri mulai bergabung disekolah itu sebagai penjaga sekolah (sampai sekarang) sejak tahun 1978. Minggu depan akan datang alat-alat berat, buldozer dan semacamnya untuk merobohkan semua bangunan disekolah ini katanya. Rencananya selama 1 tahun sekolah ini dalam masa pembangunan gedung baru, dan para murid diungsikan kebeberapa sekolah sekitar untuk belajar.
Selamat tinggal kenangan lama disekolah SMP-ku dulu...
Memasuki halaman sekolah.
Spanduk dari alumni angkatan 87.
Kelas terakhir saya dulu, 3A.
Dinding penyekat kelas itu pernah roboh setelah saya dibanting Agus Setiawan saat bermain-main, dimana saat yang bersamaan di kelas sebelah bapak Saripin Simanjuntak (SS) sedang mengajar dikelas sebelah. Saya jatuh tepat dihadapan pak SS yang angker itu... (baca "
Reuni SMP 139 Jakarta" diposting saya terdahulu).
Dian - Pak Bilal Daulay - Lidya Hakim
Ada acara band dan bazaar.
Pameran foto. Yang menjaga stand adalah para ibu guru, tapi saya sudah gak tahu lagi namanya...Saya beli foto dibawah ini yang ada foto pak Saripin Simanjuntak guru matematika kami yang terkenal itu... (pak SS paling kanan yang berkumis tebal).
Setelah sejenak merenung diam, perlahan-lahan memori saya kembali ke ibu guru Bahasa Indonesia kami itu. Sori bu, saya juga sudah tua, hehe...
Mang Karna dan ekspresinya...
SMP Negeri 139 berada di jalan Bunga Rampai Raya. Gang-gang ini sering saya lalui saat berangkat dan pulang sekolah sehari-hari.